BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pemerintahan
daerah yang baik yakni dengan terciptanya pemerintah daerah yang efisien,
efektif, transparan, akuntabel dan responsip secara berkesinambungan senantiasa
menjadi dambaan bagi setiap daerah di tanah air. Syarat pemerintahan yang baik
seperti diuraikan di atas diperlukan sebagai alat untuk melaksanakan berbagai
pelayanan publik di daerah, juga sebagai alat bagi masyarakat untuk dapat
berperan secara aktif dalam menentukan arah hidupnya sendiri selaras dengan
peluang dan tantangan yang dihadapi dan tetap menjunjung dan mendukung
kepentingan pembangunan daerah.
Menurut Silalahi
(2000:87) bahwa desentralisasi atau pemberian otonomi yang lebih luas bagi
daerah secara lugas memperhitungkan kemampuan ekonomis suatu daerah. Kemudian
bila diikuti dengan perubahan organisasi pemerintahan, niscaya Indonesia akan
keluar dari ancaman disintegrasi bangsa. Untuk memenuhi persyaratan dan
mencapai tujuan pemerintahan yang baik sebagaimana diuraikan di atas, maka
pemerintah daerah membutuhkan suatu landasan untuk bergerak lebih leluasa yaitu
berupa sistem desentralisasi.
Desentralisasi mencakup
pelimpahan tanggung jawab fiskal, politik, dan administrasi kebijakan.
Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah berdasarkan kepada azas
desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, khususnya
di Indonesia tertuang dalam undang-undang nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan
otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang mencakup semua bidang kecuali kewenangan di bidang Politik Luar Negeri,
Pertahanan keamanan, Peradilan, Moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pelaksanaan otonomi yang
nyata dengan terciptanya keleluasaan daerah seperti tersebut diperlukan untuk
mendukung tumbuh kembang pembangunan di daerah. Otonomi yang bertanggungjawab
atas pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang diemban dituntut guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih
baik. Sistim pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kekuasaan dalam rangka
penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara
yang lain tidak sama termasuk Indonesia
yang secara legal konstitusional menganut negara kesatuan.
Sehubungan dengan hal
tersebut diatas, maka sistem hubungan keuangan pemerintah pusat-daerah
mengalami perubahan komposisi dan fungsi sesuai yang diatur dalam Undang-undang
No. 22 dan 25 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Demikian pula selanjutnya keuangan daerah
lebih banyak ditentukan oleh kemampuan daerah dalam mengelola sumber pendapatan
daerah melalui pajak dan retribusi guna membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan di daerah. Kebebasan untuk mengelola sumber-sumber potensi dan
menentukan arah penggunaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat
tanpa adanya intervensi pemerintah pusat akan meningkatkan kreativitas
pemerintah daerah dalam menggali sumber yang potensial dan meningkatkan efektifitas,
efisiensi dalam penggunaannya.
Sejalan dengan tuntutan
kemajuan dunia yang menuju era globalisasi, maka peningkatan efektifitas dan
efisiensi sangat mendesak untuk dilaksanakan. Peningkatan wawasan dan
pendidikan masyarakat di suatu daerah akan menciptakan situasi di mana
masyarakat akan menuntut peningkatan kualitas pelayanan dari pemerintah. Hal
ini sejalan dengan pendapat Cigler (1996), bahwa “a more educated and skeptical citizenry, using self-defined notions of
accountability, is leading many local officials to embrace new management
paradigms.… Quality-related concerns have received heigtened attention”
(lihat Roy dan Seguin 2000:449 ).
Di dalam negara
kesatuan, tergantung kepada sistem dan hakekat politik pemerintah dalam
memberikan keleluasaan tersebut. Namun betapapun keleluasaan itu diberikan,
tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh
secara obsolut dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi
otonominya menurut kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan daerah lain
dan kepentingan nasional secara keseluruhan dam negara kesatuan.
Perbedaan kepentingan
antara kebiasaan berotonomi dan memelihara terjaganya eksistensi negara serta
persatuan dan kesatuan bangsa, biasanya cendrung timbul kekhawatiran pemerintah
pusat akan terjadinya upaya memisahkan
diri (Separatisme) dari daerah apabila daerah diberi keleluasaan dalam
melaksanakan otonomi yang seluas-luasnya.
Keserasian dan keselarasan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara otonom dengan kebutuhan masyarakat, merupakan landasan bagi
terwujudnya pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud pula peningkatan kualitas pelayanan
sebagai diungkap di atas. Sejalan dengan diberikannya kewenangan dan tanggung
jawab kepada daerah kabupaten dalam mengurus rumah tangganya sendiri,
maka akan semakin meningkat interaksi langsung antara aparat pemerintah dengan
masyarakat. Aparat dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan. Di samping
memberikan pelayanan, aparat
pemerintah juga dituntut untuk dapat memiliki kemampuan dalam mengembangkan
daerahnya baik dalam merencanakan maupun melaksanakan pembangunan di daerah.
Oleh karena adanya
perubahan sumber dana pembangunan dan pembiayaan kegiatan pemerintah daerah
karena pelaksanaan otonomi, maka pemerintah daerah perlu memperhatikan faktor
pendukung pelaksanaan otonomi diantaranya:
1. ketersediaan
sumber daya manusia yang memadai,
khususnya aparatur pemerintah daerah dan masyarakat;
2. potensi
ekonomi daerah sebagai sumber pendapatannya sendiri;
3. kemampuan
pengelolaan keuangan daerah; dan
4. kemantapan
institusi di daerah. Kemandirian daerah merupakan tuntutan yang tidak dapat
dielakkan mengingat gejala globalisasi dalam segala aspek kehidupan menuntut
bahwa tidak hanya satu negara namun juga daerah dan bahkan individu harus
berpikir global.
Setiap Pemerintah daerah harus dapat bersaing
dengan pemerintah daerah lainnya untuk dapat meningkatkan sumber-sumber dana bagi
pembangunan daerahnya (Santoso, 1995:19). Kemandirian keuangan daerah tampaknya
tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonomi harus dapat
membiayai seluruh keperluannya dari pendapatan asli daerah (PAD), tetapi hanya
merupakan salah satu komponen sumber
penerimaan daerah, di samping penerimaan lainnya yang berupa Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah, dan Lain-lain PAD yang dipisahkan.
Berdasarkan
karakteristik data yang diuraikan pada bagian terdahulu, diketahui bahwa
realisasi dan jumlah kendaraan mengandung hubungan persamaan matematis yaitu
berbanding lurus, yang berarti bila jumlah kendaraan
meningkat maka realisasi juga meningkat. Hal ini akan digunakan untuk mendukung hasil temuan dalam analisis tingkat
potensi dalam bagian berikutnya, yaitu pada bagian pembahasan hasil analisis.
Kemudian, hasil analisis efektivitas dan efisiensi akan mengarahkan pada
kesimpulan dan saran untuk mengadakan perubahan pengelolaan pungutan retribusi
bilamana diperlukan. Komponen (variabel) biaya pungut yang ditetapkan
secara pasti dalam peraturan daerah hanya berupa upah pungut (komisi) yang
besarnya 5% dari realisasi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
untuk selanjutnya, bilamana memungkinkan terhadap perhitungan efisiensi dan
efektifitas , total biaya pungut akan diasumsikan sebagai 5% dari total biaya
belanja rutin Dinas Pendapatan Daerah atau LLAJ, sebagai upah pungut
sebagaimana disebutkan datur dalam peraturan daerah. Oleh karena bila hanya
dengan menggunakan upah pungut sebesar 5% dari realisasi, sedangkan biaya
lainnya diabaikan karena termasuk dalam biaya rutin, maka tingkat efisisensi
pemungutan sangat rendah hal ini terjadi karena yang memungut adalah petugas/
pegawai yang sudah mendapatkan gaji rutin
tiap bulannya. Rendahnya target penerimaan retribusi terminal hal itu terjadi
karena penentuannya hanya didasarkan pada realisasi tahun sebelumnya
dengan penambahan tingkat persentase tahun tertentu hal ini sangat tidak
efektif karena nantinya ini akan berdampak terhadap kontribusinya pada PAD
Untuk meningkatkan
penerimaan Pendapatan Asli Daerah, salah satu alternatifnya adalah dari
penerimaan retribusi terminal yang mungkin dapat diandalkan dan ditingkatkan
penerimaannya di Kota Bukittinggi untuk tahun-tahun kedepan, mengingat potensi
pariwisata dan perdagangan yang dimiliki oleh kota ini sehingga pihak
pengusaha serta para pedagang dari luar
kota Bukittinggi berlomba-lomba datang untuk berkunjung sekaligus berbelanja,
menggunakan kendaraan, selain itu kota Bukittinggi yang menjadi sentra
perdagangan atau yang lebih dikenal dengan Tanah Abang kedua juga menjadi daerah
perlintasan baik kendaraan yang datang dari bagian Utara Sumatera maupun bagian
Timur juga daerah lainnya yang membayar retribusi. Tetapi pada kenyataannya
penerimaan retribusi tidak sesuai dengan target yang ditetapkan setiap
tahunnya. Untuk itu penulis tertarik mengetengahkan persoalan mengenai
retribusi terminal ini dalam bentuk
skripsi yang berjudul:
“ Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistem Pemungutan Retribusi Terminal
Pada Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ ) Kota Bukittinggi”.
B.
Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian di
atas, maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam
tentang potensi retribusi terminal bis dan taksi yang wajar atau riil di Kota
Bukittinggi. Oleh karena itu, permasalahan yang dapat diajukan yaitu
1. Berapa
besar potensi retribusi terminal yang sebenarnya guna menjadi dasar penetapan
target yang wajar sehingga realisasi bisa optimal ?
2. Bagaimana
kontribusi retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi.?
3. Berapa
tingkat efektifitas dan efisiensi pemungutan retribusi terminal di Kota Bukittinggi?
C.
Pembatasan Masalah.
Dalam penelitian ini
penulis membatasi masalah hanya pada ruang lingkup Potensi penerimaan,
efektifitas dan efisiensi pemungutan Retribusi terminal serta kontribusinya
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dikelola Kantor LLAJ dan selanjutnya
diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi serta kebijaksanaan
apa yang akan diambil dengan berpedoman kepada data lima tahun terakhir, yaitu
data tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan penelitian.
a. Untuk
mengetahui berapa besar potensi retribusi terminal di Kota Bukittinggi.
b. Untuk
mengetahui berapa besar kontribusi retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli
Daerah Kota Bukittinggi.
c. Untuk
mengetahui berapa efektif dan efisien
pemungutan retribusi terminal
Kota Bukittiggi
d. Untuk
mengetahui kebijaksanaan dan tindakan apa yang dilakukan Pemda untuk
meningkatkan penerimaan retribusi terminal dan
Pendapatan Asli Daerah.
2. Manfaat penelitian
a. Untuk
peneliti
Untuk menambah wawasan serta pedoman bagi peneliti dalam dunia kerja
terutama yang berhubungan dengan teori-teori yang diperoleh dibangku kuliah dan
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti-peneliti lain selanjutnya
dimasa yang akan datang.
b. Untuk
Pemerintah Daerah dan Masyarakat Kota Bukittinggi.
Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan pengelolaan dan peningkatan penerimaan keuangan
daerah dari penerimaan retribusi yang optimal, khususnya yang berkaitan dengan
upaya meningkatkan pemungutan retribusi terminal.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya, diketahui bahwa beberapa atau sebahagian besar Pemda
sebelum otonomi daerah belum mengoptimalkan penerimaan dari retribusi karena
masih mendapat dana dari Pemerintah Pusat. Sebagai upaya untuk meningkatkan
PAD, maka pengelolaan retribusi masih perlu dikaji untuk menentukan besarnya
potensi yang riil (wajar), tingkat efektifitas dan efisiensi pemungutan
retribusi, khususnya retribusi terminal bis dan taksi, supaya tidak justru
sebaliknya, yaitu membebani anggaran daerah.
Devas, dkk., (1989:46),
mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung dari Pemerintah Pusat.
Dalam garis besarnya, penerimaan daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya
menutup seperlima dari pengeluaran pemerintah daerah. Meskipun banyak pula
negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Memang, pemerintah
daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki
tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” artinya
memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat mengadakan perubahan di sana
sini pada tingkat jasa layanan
yang disediakan. Untuk itu mungkin sudah mamadai jika 20 % dari pengeluaran
berasal dari sumber-sumber daerah. Hal tersebut sejalan dengan uraian oleh
McQueen (1998:12-18) bahwa:
Pertimbangan lain dalam
meningkatnya retribusi yaitu peran masyarakat (publik) dalam politik.
Masyarakat tidak senang terhadap perubahan dan hanya akan toleransi terhadap
pembayaran retrebisi, bukan semata sebagai sumber utama pendapatan daerah
tetapi hanya dana pendamping.
Retribusi Daerah yaitu pungutan
daerah sebagai pembayaran memakai atau karena memperoleh jasa pelayanan
langsung usaha milik daerah untuk kepentingan umum atau karena diberikan oleh
daerah baik langsung maupun tidak langsung. Sementara di dalam Undang-undang
No. 18 Tahun 1997 pasal 1 ayat 24 disebutkan bahwa retribusi daerah adalah
pungutan sebagai pembayaran pemakaian atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang
pribadi/badan.menurutGei (1968):78) (lihat Bahrun, 1997:17).
Oleh karena merupakan
pembayaran atas penggunaan barang atau jasa yang disediakan untuk umum oleh
pemerintah, maka penarikannya biasanya dilakukan di tempat pemakaian itu,
tetapi boleh juga ditagihkan kepada badan/orang pribadi atas dasar pembayaran
dengan penggunaan terbatas (dijatahkan) atau pembayaran dengan periode waktu
yang disepakati. Retribusi terminal bis dan taksi, dapat dibayarkan berkala
langsung ke Dinas pendapatan daerah atau
ke Kantor LLAJ. Hal di atas sejalan dengan uraian oleh McQueen (1998:12-18)
tentang permasalahan dan kebijaksanaan pelayanan oleh pemda. Dikatakan pula
bahwa persaingan retribusi antar pemda tidak akan menjadi pertimbangan utama
dalam menentukan tarif, yang penting yaitu bila ada pemda yang berdekatan
mengadakan atau menyediakan barang atau jasa yang sama, maka saling tukar
informasi menjadi penting untuk mengurangi resiko kerugian. Lebih lanjut diuraikan pula definisi dan
pengertian yang berkaitan dengan retribusi yaitu dikutip dari Sproule-Jones and
White yang menyatakan bahwa retribusi adalah semua bayaran yang dilakukan bagi
perorangan dalam menggunakan layanan yang mendatangkan keuntungan langsung dari
layanan itu lebih lanjut dikatakan bahwa retribusi lebih tepat dianggap pajak
konsumsi daripada biaya layanan; bahwa retribusi hanya menutupi biaya operasi
saja. Pada bagian lain McQueen (1998:2) mengungkapkan bahwa:
Suatu tanggapan
menekankan memperjelas kenyataan bahwa masyarakat memandang retribusi sebagai
bagian dari program bukan sebagai pendapatan daerah dan bersedia membayar hanya
bila tingkat layanan dirawat dan ditingkatkan. Berdasarkan hal tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa bagian yang gampang dalam menyusun retribusi yaitu
menghitung dan menetapkan tarif. Bagian tersulitnya adalah meyakinkan
masyarakat (publik) tanpa diluar kesadaran mereka tarif tetap harus
diberlakukan.
Berkaitan dengan
pendapat di atas, Davey (1988:147), menguraikan bahwa di dalam beberapa hal
retribusi mungkin lebih didasarkan pada recovering
daripada full cost dari suatu
pelayanan, yaitu atas dasar mencari keuntungan. Salah satu dari tiga kasus yang
diuraikan yaitu mencari keuntungan di luar para pemakai bis melalui jawatan
transportasi, lahan-lahan pada stasiun bis.
F.
Metodologi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini langsung dilakukan pada objek penelitian yakni Kantor Lalu
Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) serta Kantor Kesekretariatan
Pemerintah Kota Bukittinggi.
2. Data dan Sumber Data
1. Data
a. Data
Primer, yakni data pokok. Pengumpulan data primer dengan cara peninjauan
langsung pada Pemerintah Kota
Bukittinggi dalam hal ini melalui Kantor Walikota, Kantor Dinas Pendapatan
Daerah Kota Bukittinggi dan Kantor LLAJ untuk mendapatkan gambaran data yang
dibutuhkan mengenai sistem pemungutan, target dan realisasi penerimaan
retribusi terminal dan Pendapatan Asli daerah.
b. Data Skunder yakni data tambahan. Yaitu dengan mempelajari buku-buku
dan tulisan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Cara ini digunakan
untuk mengumpulkan informasi dalam rangka mendapatkan data sekunder.
2. Sumber Data
Data primer diperoleh langsung dari objek penelitian, dari karyawan di
Kantor Walikota dan Dipenda Kota Bukittinggi seperti bagian keuangan, bagian
administrasi, sedangkan data skunder diperoleh dari laporan-laporan tertulis,
buku pedoman serta buku-buku peraturan daerah yang berkenaan dengan objek yang
diteliti.
3. Metode Analisis Data
a. Analisis Kualitatif.
Analisa ini digunakan untuk membahas data-data yang bersifat kualitatif
seperti potensi, efektifitas dan efisiensi penerimaan retribusi terminal
terhadap peningkatan PAD serta langkah-langkah yang diambil pemerintah kedepan
serta manajemen pengelolaan, pemungutan retribusi terminal dan masalah-masalah
yang dihadapi untuk masa yang akan datang.
b. Analisis Kuantitatif
1. Analisis potensi
Penelitian
tentang perhitungan potensi pajak dan retribusi yang dilakukan oleh Mardiasmo
dan Makhfatih (2000:5-6), menguraikan beberapa model untuk menghitung efektifitas,
efisiensi, Selanjutnya diuraikan bahwa efektifitas
yaitu mengukur hubungan antara hasil pungut pajak atau retribusi dengan potensi
pajak atau retribusi. Efisiensi diuraikan sebagai alat untuk mengukur bagian
dari pajak atau retribusi yang digunakan untuk menutup biaya pemungutan retribusi.
Alat analisis yang digunakan untuk
menghitung potensi penerimaan Retribusi Terminal dengan menggunakan formula
sebagai berikut:
PRT = ( å Km x å RK x
365) / 12
Di mana :
PTT = Potensi retribusi terminal
Km = Kendaraan
yang masuk terminal rata-rata perhari
Rk = Retribusi
yang dikenakan
2. Untuk
mengukur pertumbuhan retribusi terminal dapat dihitung dengan formula laju pertumbuhan, Marisal
(1999,46) :
r =
Dimana:
Xt = Nilai Realisasi Retribusi terminal Tahun ke t
Xt - t = Nilai Realisasi Retribusi terminal Tahun
sebelumnya
r = Laju Pertumbuhan
3. Untuk mengukur kontribusi Retribusi terminal
terhadap Pendapatan Asli Daerah dengan mengunakan rumus :
N = 100%
Dimana : N = Besarnya peranan retribusi terminal pada
tahun n
X = Jumlah realisasi
retribusi terminal tahun
Y = Pendapatan
Asli daerah tahun
4. Analisis efektifitas
(hasil guna)
Analisis ini untuk mengukur
hubungan antara realisasi penerimaan retribusi terminal terhadap potensi
retribusi terminal. Untuk penelitian ini analisis efektifitas digunakan untuk
formulasi sbb :
Realisasi
Penerimaan Retribusi Terminal
Efektifitas = x
100%
Potensi
retribusi Terminal:
Standar ukuran efektif menurut
Masrizal dalam bukunya mengenai Manajemen Keuangan Daerah tahun 2008 mengatakan
tingkat efektifitas dapat dikategorikan tidak efektif, cukup efektif, efektif
dan sangat efektif.
5 Analisis efisiensi (daya guna)
Analisis ini digunakan untuk
mengukur bagian dari realisasi penerimaan retribusi terminal yang digunakan. Dalam
analisa ini biaya pungut dihitung
sebesar 5% dari realisasi retribusi terminal, sedangkan biaya lainnya
diabaikan karena termasuk dalam biaya rutin maka nilai efisiensi akan menjadi
lebih besar. Rumus yang digunakan adalah:
Biaya
Pungut Retribusi Terminal
Efesiensi =
x 100%
Realisasi
Penerimaan Retribusi Terminal
Menurut
Masrizal dalam bukunya mengenai Manajemen Keuangan Daerah (2008) efisien dapat
dikategorikan pada empat kategori,
sangat efisien, efisien, cukup efisien dan tidak efisien.
Dalam rangka
pencapaian tujuan yang diinginkan dengan penggunaan alat analisis yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dari variabel-variabel
yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
1. Realisasi
penerimaan retribusi terminal selama periode 2004 sampai 2008
2. Biaya
pungut (operasional), yang terdiri atas 5% dari realisasi retribusi terminal
(diasumsikan), selama 2004 sampai 2008
3. Realisasi
penerimaan PAD Kota Bukittinggi dari tahun 2004 sampai 2008.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, secara garis besar pembahasan
dibagi menjadi lima bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang mengurai tentang Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini penulis mengurai uraian teoritis mengenai Pengertian Efektifitas
dan Efisiensi, Pengertian Pendapatan Asli Daerah, Sumber Pendapatan Asli
Daerah, Pengertian Pajak dan Pajak Daerah, Jenis-jenis Pajak Daerah, Pengertian
dan Dasar Hukum Retribusi terminal, Jenis dan Macam Retribusi, Konsep Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, Kriteria Retribusi terminal dan Potensinya,
Subjek Objek dan Wajib Retribusi terminal, dan Manajemen Pemungutan Retribusi
terminal.
BAB III GAMBARAN
UMUM OBJEK PENELITIAN
Pada bab ini menguraikan Gambaran Umum Kota Bukittinggi, Perekonomian
Kota Bukittinggi, Potensi Unggulan Kota Bukittinggi, Perkembangan Penerimaan
PAD Kota Bukittinggi, Jenis-jenis Penerimaan Retribusi terminal, dan Gambaran
Umum Dipenda Kota Bukittinggi serta Struktur Organisasi dan Tata Kerja kantor
LLAJ Kota Bukittinggi.
BAB IV ANALISIS
EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SISTEM
PEMUNGUTAN RETRIBUSI TERMINAL TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA
BUKITTINGGI.
Pada
bab ini penulis mengurai tentang Sistem Pemungutan Retribusi terminal,
Manajemen Pemungutan Retribusi terminal, Potensi Retribusi terminal, Kontribusi
Retribusi terminal terhadap PAD, Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistem
Pemungutan Retribusi terminal terhadap PAD Kota Bukittinggi dan Kebijaksanaan
dan Upaya untuk meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi Sistem Pemungutan
Retribusi terminal.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis mencoba mengambil suatu kesimpulan dari hasil
penelitian serta memberikan saran yang dapat bermanfaat bagi Dinas Pendapatan
Daerah dan Pemerintah Kota Bukittinggi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Konsep
Pajak dan Retribusi
1.
Pengertian
Pajak dan Retribusi
Dalam kurun waktu setengah abad lebih
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
diawali dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 sampai dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, tidak kurang dari enam buah Undang-undang Pemerintahan
daerah yang pernah berlaku di Indonesia. Namun Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian diikuti dengan Undang-undang 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, merupakan perwujudan dari Pasal
18 Undang-undang Dasar 1945 tentang penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
wewenang dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk mendukung
pemerintahan dan pembangunan di daerah, adapun sumber-sumber keuangan daerah di
antaranya adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan
lain-lain pendapatan yang sah.
Penerapan sistem manajemen yang
berorientasi efisisensi sebagaimana diungkapkan oleh Cigler (1996), bahwa
merupakan suatu hal yang penting dalam era reformasi dan globalisasi sebagai
antisipasi akan meningkatnya daya kritis, nuansa kebebasan dan keterbukaan,
serta tuntutan akan kenyamanan dan pelayanan yang manusiawi oleh masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa “pendekatan berorientasi efisiensi mencakup metode
manajemen yang luas yang bermaksud/bertujuan atau mempunyai sasaran pada
peningkatan perbandingan (rasio) antara output dan input suatu
organisasi (pemerintah)”.
Oleh karena itu hal tersebut di atas
dapat dikatakan berhubungan dengan analisis efisiensi retribusi (terminal bis
dan taksi) yang bertujuan untuk mengetahui besarnya pengeluaran yang diambil
dari realisasi penerimaan retribusi terminal yang digunakan untuk menutup biaya
pungutan retribusi. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam penelitian tersebut di
atas, aplikasi dan argumentasi lebih ditujukan dalam bidang manajemen dan untuk
para ilmuwan dan praktisi, sedangkan lingkup analisis penelitian tersebut di
atas merupakan cara pelaksanaan bagi badan atau organisasi, diambil dari
penelitian terdahulu oleh DiMaggio dan Powell (1983) (lihat Roy dan Seguin 2000:449 ).
Penelitian lain tentang peran sektor
publik dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang dilakukan oleh Kim (1996:155),
mengemukakan permasalahan apakah pajak daerah dan belanja daerah berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Penelitian ini berkaitan dengan berlakunya otonomi daerah di Korea tahun
1995, menggunakan model Skinner, 1987, sebagai alat analisis utama. Pada bagian
berikutnya dikatakan bahwa Pemda harus mengerti mengapa pajak daerah dan
belanja daerah mempengaruhi perkembangan ekonomi daerah. Salah satu kesimpulan
yang diutarakan yaitu peran Pemda cukup signifikan, tetapi pajak dan pendapatan
non-pajak kurang (negatif) pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
a. Pengertian Pajak
Undang
–Undang Dasar 1945 menempatkan pajak sebagai salah satu perwujudan kewajiban
kenegaraan. Ditegaskan bahwa penempatan beban
kepada raknyat. Masing masing pakar memberikan batasan batasan
tersendiri tentang apa yang dimaksud dengan pajak, namun satu sama lain hampir
memiliki kesamaan.
Pengertian pajak menurut beberapa orang ahli yaitu:
a. Menurut
Prof.Dr.Rachmat Soemitro,SH (1992;20)
Memberikan definisi pajak sebagai berikut,” Pajak adalah iuran rakyat
kepada negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapatkan jasa timbal balik (kontrapresentasi) yang langsung dapat ditunjukan
dan dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
b. Menurut
Soeparman Soemahamidjaja (1990;38)
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh
petugas berdasarkan Norma-norma hukum guna menutupi biaya produksi dan
barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”
c. Menurut
Munawir (1998;45),
“Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan
kepada negara, disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan peraturan
yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik
dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejah teraan umum.
d. Menurut
Mangkoesoebroto (1999;75)
“Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak Prerogratif pemerintah,
pungutan tersebut didasarkan kepada undang-undang. Pemungutan dapat dipaksakan
kepada subjek pajak untuk mana tidak ada jasa yang langsung dapat ditunjukan
penggunaannya”.
Secara umum dapat dipahami bahwa pajak
merupakan sebagai suatu kewajiban wajib pajak untuk menyerahkan sebagian dari
kekayaan kepada negara tanpa mendapatkan prestasi atau jasa balik kembali
secara langsung sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diatur
dengan undang undang demi kesejahteraan rakyat.
b . Pengertian Pajak Daerah
Pajak merupakan sumber pendapatan yang
paling pokok bagi negara ataupun daerah. Ada beberapa definisi yang diberikan
para ahli tentang pajak daerah baik ditinjau dari segi individu atau dari segi
pemerintah sebagai pemungutnya.
Menurut Undang-undang No.34 Tahun 2000
yang merupakan perubahan dari Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang pajak
daerah . Pasal 1 adalah:
“Pajak
daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang yang berlalu, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”.
Sedangkan
menurut K.Jdavey (1998;39) pajak daerah adalah:
Pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dengan
pengaturan dari pemerintahan daerah sendiri
Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional
tetapi tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah
Pajak yang ditetapkan dan atau yang dipungut oleh
pemerintah daerah
Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh
pemerintah pusat tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada, dibagikan
dengan, atau dibebani pungutan tambahan atau (Opsen) oleh pemerintah
daerah.
Undang-undang No 34 Tahun 2000 tentang
pajak daerah juga menjelaskan dan menetapkan pokok pokok yang memberikan
pedoman kebijakan dan arah bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan sekaligus
menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum tentang perpajakan
daerah.
Dari pengertian yang telah dikemukakan
diatas jelaslah bahwa pajak daerah merupakan iuran kepada daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
c.
Pengertian Retribusi
Sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya, diketahui bahwa beberapa atau sebahagian besar
Pemda sebelum otonomi daerah belum mengoptimalkan penerimaan dari retribusi
karena masih mendapat dana dari Pemerintah Pusat. Sebagai upaya untuk
meningkatkan PAD, maka pengelolaan retribusi masih perlu dikaji untuk
menentukan besarnya potensi yang riil (wajar), tingkat efektifitas dan
efisiensi pemungutan retribusi, khususnya retribusi terminal bis dan taksi,
supaya tidak justru sebaliknya, yaitu membebani anggaran daerah.
Devas, dkk., (1989:46),
mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung dari Pemerintah Pusat.
Dalam garis besarnya, penerimaan daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya
menutup seperlima dari pengeluaran pemerintah daerah. Meskipun banyak pula
negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Memang, pemerintah
daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki
tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” artinya
memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat mengadakan perubahan di sana
sini pada tingkat jasa layanan
yang disediakan. Untuk itu mungkin sudah mamadai jika 20 % dari pengeluaran berasal
dari sumber-sumber daerah. Hal tersebut sejalan dengan uraian oleh McQueen
(1998:12-18) bahwa:
Pertimbangan lain dalam meningkatnya
retribusi yaitu peran masyarakat (publik) dalam politik. Masyarakat tidak
senang terhadap perubahan dan hanya akan toleransi terhadap pembayaran retribusi,
bukan semata sebagai sumber utama pendapatan daerah tetapi hanya dana
pendamping.
Retribusi Daerah yaitu pungutan daerah sebagai
pembayaran memakai atau karena memperoleh jasa pelayanan langsung usaha milik
daerah untuk kepentingan umum atau karena diberikan oleh daerah baik langsung
maupun tidak langsung. Sementara di dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 pasal 1
ayat 24 disebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan sebagai pembayaran
pemakaian atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan
atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi/badan.menurutGei (1968):78) (lihat Bahrun,
1997:17).
Oleh karena merupakan pembayaran atas
penggunaan barang atau jasa yang disediakan untuk umum oleh pemerintah, maka
penarikannya biasanya dilakukan di tempat pemakaian itu, tetapi boleh juga
ditagihkan kepada badan/orang pribadi atas dasar pembayaran dengan penggunaan
terbatas (dijatahkan) atau pembayaran dengan periode waktu yang disepakati.
Retribusi terminal bis dan taksi, dapat dibayarkan berkala langsung ke Dinas Pendapatan
Daerah atau ke Kantor LLAJ.
Hal di atas sejalan dengan uraian oleh
McQueen (1998:12-18) tentang permasalahan dan kebijaksanaan pelayanan oleh
pemda. Dikatakan pula bahwa persaingan retribusi antar pemda tidak akan menjadi
pertimbangan utama dalam menentukan tarif, yang penting yaitu bila ada pemda
yang berdekatan mengadakan atau menyediakan barang atau jasa yang sama, maka
saling tukar informasi menjadi penting untuk mengurangi resiko kerugian.
Lebih lanjut diuraikan pula definisi dan
pengertian yang berkaitan dengan retribusi yaitu dikutip dari Sproule-Jones and
White yang menyatakan bahwa retribusi adalah semua bayaran yang dilakukan bagi
perorangan dalam menggunakan layanan yang mendatangkan keuntungan langsung dari
layanan itu lebih lanjut dikatakan bahwa retribusi lebih tepat dianggap pajak
konsumsi daripada biaya layanan; bahwa retribusi hanya menutupi biaya operasi
saja. Pada bagian lain McQueen (1998:2) mengungkapkan bahwa:
Suatu tanggapan menekankan memperjelas
kenyataan bahwa masyarakat memandang retribusi sebagai bagian dari program
bukan sebagai pendapatan daerah dan bersedia membayar hanya bila tingkat
layanan dirawat dan ditingkatkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa bagian yang gampang dalam menyusun retribusi yaitu menghitung
dan menetapkan tarif. Bagian tersulitnya adalah meyakinkan masyarakat (publik)
tanpa diluar kesadaran mereka tarif tetap harus diberlakukan.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Davey
(1988:147), menguraikan bahwa di dalam beberapa hal retribusi mungkin lebih
didasarkan pada recovering daripada full cost dari suatu pelayanan, yaitu
atas dasar mencari keuntungan. Salah satu dari tiga kasus yang diuraikan yaitu
mencari keuntungan di luar para pemakai bis melalui jawatan transportasi,
lahan-lahan pada stasiun bis, dan lain-lain mungkin sebagian besar merupakan
penghukuman golongan miskin.Di
dalam beberapa hal retribusi mungkin lebih didasarkan pada recovering daripada
full cost dari suatu pelayanan, yaitu atas dasar mencari keuntungan. Setidak-tidaknya ada tiga kasus di mana hal
ini bisa terjadi. Pertama, di mana retribusi dikenakan untuk tujuan-tujuan
pengaturan yang melibatkan sedikit biaya langsung. Licensing fees atau meteran
parkir merupakan contoh.
4.Kedua, retribusi mungkin dikenakan pada tingkat di atas biaya
guna memperkuat pengaruh disiplin mereka atas konsumsi. Retribusi telepon
mungkin dibagi-bagi sesuai dengan perhatian untuk tidak mendorong kemacetan
pada puncak-puncak jam-jam bussiness. Parking fees atau daerah licensing fees
mungkin dikenakan pada tingkat penghukuman, seperti di Singapura yang
mengeluarkan kendaraan pribadi dari pusat kota. Akhirnya suatu pelayanan
mungkin mempunyai permintaan yang cukup banyak dan penduduk ingin membayar
tinggi untuk hal itu karena tingkat keperluannya atau popularitas dan
keterbatasan suplainya. Hal ini mungkin dioperasikan khususnya di mana suatu
pelayanan yang sama dikaitkan juga kepada penyediaan biaya perusahaan-perusahaan
swasta. Retribusi di atas biaya dapat juga diukur dalam situasi yang demikian
jika kelebihan penerimaan ditanamkan kembali kepada perluasan pelayanan
sehingga suatu jumlah yang besar mempunyai jalur untuk itu. Suatu contoh yang
baik dari hal ini dikaitkan pada penyediaan rumah Pemerintah di banyak negara
Dunia Ketiga di mana suplai yang tidak mencukupi menimbulkan pemerasan sewa di
dalam sektor swasta, dan di mana para penghuni perumahan milik Pemerintah
mungkin relatif dianggap sebagai hak-hak istimewah. Akan tetapi retribusi di
atas biaya adalah analog dengan perpajakan. Timbulnya dan pemerataannya harus
duipertimbnangkan. Seksi-seksi mana di masyarakat yang membayar lebih dari
suatu pelayanan, dan seksi-seksi yang mana yang menerima keuntungan dari kelebihan
penerimaan? Retribusi parkir yang tinggi mungkin pantas bagi para pemilik mobil
yang umumnya merupakan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Mencari keuntungan di luar para pemakai bis melalui jawatan
transportasi, lahan-lahan pada stasiun bis, dan lain-lain mungkin sebagian
besar merupakan penghukuman golongan miskin.
Pada bagian
akhir, Davey (1988:153) menyimpulkan bahwa penerimaan (retribusi) mungkin jatuh
di bawah tingkat yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pelayanan secara efektif,
karena keengganan politik untuk meningkatkan tarif atau mengenakan sangsi.
Suparmoko (1992:98-99), menguraikan bahwa kemampuan untuk membayar pajak dan
retribusi dapat diketahui dengan melihat besarnya pendapatan baik yang berasal
dari tenaga kerja maupun yang berasal dari kekayaan dan besarnya pengeluaran si
wajib pajak serta pengeluaran konsumsi esensial.
Musgrave dan
Musgrave (1993:238), mengemukakan hal yang sama dengan di atas tentang prinsip
dalam pengenaan pajak dan retribusi yang harus dipenuhi antara lain prinsip
kemampuan untuk membayar (Ability-to-pay-Principle),
yaitu orang-orang yang mempunyai kemampuan yang sama harus membayar pajak dalam
jumlah yang sama, sementara orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus
membayar lebih besar. Wajib pajak yang memiliki
kemampuan membayar yang sama
dikenai pajak yang sama bebannya (horisontal
equity), dan wajib pajak yang kemampuannya berbeda dikenai pajak yang
berbeda pula bebannya (vertikal equity).
Berdasarkan
observasi dan pengalaman di lingkungan Pemerintah Kota Bukittinggi, maka
diketahui bahwa selama beberapa tahun yang lalu sampai saat ini, penetapan
target hanya berdasarkan pada realisasi tahun sebelumnya dengan penambahan
kenaikan beberapa persen tanpa melakukan perhitungan sesuai data dilapangan.
Langkah ini ditempuh untuk memudahkan pelaksanaan administratif dan memberi alokasi
jam dan muatan kerja untuk bidang lainnya. Mengingat letak dan tempat objek
pungut (terminal) merupakan satu kesatuan yang sudah pasti (tidak berpindah dan
hanya satu tempat), maka pemungutan tidak menggunakan tim lapangan, melainkan
setoran dapat langsung ke kantor kas daerah.
2. Pengertian dan Dasar Hukum Retribusi terminal
a. Pengertian Retribusi terminal
Pengertian retribusi terminal berdasarkan peraturan
daerah Kota Bukittinggi No. 06 Tahun 2004 dan No. 10 Tahun 2006 dalam
butir-butir berikut dikatakan:
a.
Retribusi terminal yang selanjutnya disebut
pendapatan adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan terminal.
b.
Penyelenggaraan
pelayanan terminsl adalah perseorangan atau badan hukum yang
menyelenggarakan retribusi baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan
atas nama pihak lain yang menjadi tanggung jawab.
b. Dasar Hukum Retribusi terminal
a. Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah / Retribusi Daerah.
b. Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah
c. Peraturan
Daerah Kota Bukittinggi Nomor 06 Tahun 2004 tentang Retribusi / Sewa Tempat
parkir terminal.
d. Peraturan
Daerah Kota Bukittinggi Nomor 10 Tahun 2006 tentang Retribusi terminal.
e. Peraturan
Walikota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2007 tentang Penetapan Nilai retribusi
terminal dalam Kota Bukittinggi.
3. Jenis-Jenis
Pajak dan Retribusi
a. Jenis-jenis Pajak
Menurut Undang-undang No 34 Tahun 2000 Pasal 2
menjelaskan bahwa jenis-jenis pajak daerah adalah sebagai berikut;
1. Pajak
Propinsi
a. Pajak
kendaraan bermotor dan pajak kendaraan diatas air
b. Bea
balik nama kendaran bermotor dan kendaraan diatas air
c. Pajak
bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
2. Pajak
Kabupaten / Kota
a. Pajak
Hotel
Pajak atas pelayanan Hotel
b. Pajak
Rumah makan dan resroran
Pajak atas pelayanan rumah makan dan restoran
c. Pajak
Hiburan
Pajak atas penyelenggaran hiburan
d. Retribusi
terminal
Pajak atas penyelenggaran retribusi
e. Pajak
Penerangan Jalan
Pajak atas pengunaan listrik dengan ketentuan bahwa diwilayah tersebut
tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.
f. Pajak
pengambilan bahan galian golongan C
Pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan
ketentuan Undang-undang.
g. Pajak
Parkir
Pajak yang dikenakan atas penyelenggaran tempat parkir diluar badan jalan
oleh orang pribadi atau badan usaha baik yang disediakan berkaitan dengan pokok
usaha termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor yang memungut
biaya
b. Jenis-jenis retribusi
Menurut Undang-undang No 34 Tahun 2000 Pasal 2 dan
peraturan Wali Kota Bukittinggi menjelaskan bahwa jenis-jenis retribusi kota
Bukittinggi adalah sebagai berikut :
1. Retribusi
pelayanan kesehatan
a. Administrasi/
Karcis
b. PHB/
Askes
c. Laboratorium
d. UGD
2. Retribusi
Pelayanan Persampahan
a. Retribusi
kebersihan
b. Retribusi
Pelayanan persampahan pedagang
3. Retribusi
Penggantian biaya cetak
a. KTP
b. KK
c. SKK
d. Akta
Capil
4. Retribusi karcis Pasar
a. Pasar
atas
b. Pasar
bawah
c. Pasar
Aur Kuning
d. Pedagang
Malam
5. Retribusi Terminal
6. Retribusi
pemeriksaan Alat pemadam keakaran
7. Retribusi
biaya cetak peta
8. Retribusi
pemakaian kekayaan daerah
9. Retribusi
WC umum
10. Retribusi
IMB
11. Retribusi
Izin trayek kendaraan
4. Kriteria Retribusi terminal dan Potensinya.
Dasar filosofis pembenaran negara mengatakan
pemungutan pajak sebagai pungutan yang mempunyai upaya pemaksaan dalam
melaksanakanya berdasarkan pendekatan benefit, adalah bahwa warga negara
menciptakan manfaat berupa kesejakteraan, perlindungan, kebebasan dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan manfaatnya bagi masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas dapat disumpulkan bahwa
pemungutan pajak dan retribusi oleh negara pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan, perlindungan, kebebasan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan manfaat bagi seluruh masyarakat.
Menurut Mangkoesoebroto (1999;15) Pajak dan Retribusi
yang baik haruslah mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Distribusi
dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar sesuai dengan bagian
yang wajar
b. Pajak
dan retribusi harus sedikit mungkin mencampuri keputusan ekonomi, apabila
keputusan-keputusan ekonomi telah mungkin tercapai, beban pajak harus seminimal
mungkin
c. Pajak
harus memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi disektor swasta, apa bila
instrumen pajak dapat melakukannya
d. Struktur
pajak dan retribusi harus mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan
stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi
e. Sistem
pajak dan retribusi harus jelas dan dimengerti.
f. Administrasi
dan biaya pelaksanana pajak dan retribusi harus sedikit mungkin
g. Kepastian
hukum yang jelas
h. Dapat
dilaksanakan
i.
Dapat diterima oleh umum
Potensi
pajak dan Retribusi mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi seperti yang dikemungkakan oleh
Todaro(1997;36), “Pertumbuhan pajak dan retribusi tidak dapat dilepaskan dari
pertumbuhan ekonomi, potensi peneriman pajak dan retribusi suatu negara
tergantung pada tingkat pendapatan perkapita, stuktur perekonomian, distribusi
pendapatan, keadaan sosial dan politik .
Pertumbuhan pajak dan retribusi dipengaruhi oleh :
1. Tingkat
pembangunan ( leavel of development)
2. tingkat
keterbukaan ( degree openness)
3. struktur
perekonomian
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan pajak dan retribusi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi,
kondisi sosial dan politik, artinya semakin meningkat pertumbuhan ekonomi,
semakin membaik kondisi sosial politik semakin baik administrasinya maka
pertumbuhan pajak dan retribusi juga akan semakin meningkat.
B.
Konsep Efektifitas dan Efisiensi
1. Pengertian
Efektifitas dan Efisiensi
Konsep efektifitas menurut Siagian (1990;85)
adalah pencapaian tujuan suatu usaha dan kegiatan berencana, dapat diselesaikan
tepat pada waktunya dengan target yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan
yang dimaksud dengan efektifitas mengandung pengertian suatu kegiatan yang
dilaksanakan selalu dapat diselesaikan sesuai dengan target yang telah
dilaksanakan.
Menurut Emerson (1998;90) efektifitas ialah pengukuran
dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan sesuai dengan apa yang direncanakan
sebelumnya. Jelaslah bila sasaran atau tujuan yang telah dicapai sesuai dengan
yang direncanakan sebelumnya adalah efektif. Jadi bila sasaran atau tujuan itu
tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan, maka pekerjaan itu dikatakan tidak
efektif.
Sedangkan menurut Hidayat (1990;67) efektifitas adalah
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target yang telah dicapai, semakin
tinggi atau besar target yang dicapai maka semakin tinggi tingkat efektifitasnya.
Defenisi lain dari efektifitas diungkapkan oleh
Siagian (1990;59) efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, dana, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk
menghasilkan sejumlah barang dan jasa dengan jumlah mutu tertentu tepat pada
waktunya.
Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan bahwa efektifitas
merupakan kemampuan optimum pencapaian target yang telah direncanakan baik dari
segi hasil suatu usaha maupun ketepatan waktunya.
Efisien menurut Miratni, Spencer and Spencer
(1997;57) efesien merupakan suatu proses untuk memaksimalkan kemampuan atau
kompetensi yang ada.
Sedangkan menurut Todaro (1997;87) efisien
adalah suatu kerangka yang dijalankan dalam setiap kegiatan dengan melakukan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya serta memanfaatkan segala potensi yang ada
untuk mencapai suatu target tertentu yang diinginkan
Efisiensi mengandung makna bahwa sebenarnya
memprediksi sejauh mana pengorbanan yang dilakukan, siapa yang berkinerja baik
dan kurang baik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa efesiensi adalah bagian
kepribadian yang melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi
pada berbagai keadaan dan juga pekerjaan yang dijalankan dengan pengorbanan
waktu, tenaga, pikiran serta modal yang sesuai.
2. Efektifitas
dan Efisiensi Retribusi Terminal
a.
Analisis
efektifitas (hasil guna)
Analisis ini untuk mengukur
hubungan antara realisasi penerimaan retribusi jasa terminal terhadap potensi
retribusi terminal. Untuk penelitian ini analisis efektifitas digunakan untuk
formulasi sbb :
Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal
Efektifitas = x
100%
Potensi
retribusi Terminal:
Standar ukuran efektif menurut
Masrizal dalam bukunya menenai Manajemen Keuangan Daerah tahun 2008 mengatkan
tingkat efektifitas dapat dikategorikan sebagai mana dalam tabel berikut :
NO
|
SKOR
|
KRITERIA
|
1
|
0% Sampai dengan 25 %
|
Tidak efektif
|
2
|
25 % Sampai dengan 50 %
|
Cukup efektif
|
3
|
50 % Sampai dengan 75%
|
Efektif
|
4
|
75 % Sampai dengan 100%
|
Sangat efektif
|
b.
Analisis efisiensi (daya guna)
Analisis ini digunakan untuk
mengukur bagian dari realisasi penerimaan retribusi terminal yang digunakan.
Dalam analisa ini biaya pungut dihitung
sebesar 5% dari target retribusi termial,
sedangkan biaya lainnya diabaikan karena termasuk dalam biaya rutin maka
nilai efisiensi akan menjadi lebih besar. Rumus yang digunakan adalah:
Biaya Pungut
Retribusi Terminal
Efesiensi =
x 100%
Realisasi
Penerimaan Retribusi Terminal
Menurut Masrizal dalam bukunya
mengenai Manajemen Keuangan Daerah (2008) efisien dapat dikategorikan pada
empat kategori seperti pada tabel berikut:
NO
|
SKOR
|
KRITERIA
|
1
|
0% Sampai dengan 25 %
|
Sangat Efisien
|
2
|
25 % Sampai dengan 50 %
|
Efisien
|
3
|
50 % Sampai dengan 75%
|
Cukup Efisien
|
4
|
75 % Sampai dengan 100%
|
Tidak Efisien
|
3. Konsep
Pendapatan Asli Daerah
Dalam Pasal 79 Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa sumber-sumber
pendapatan untuk membiayai APBD terdiri atas:
1.
Pendapatan Asli Daerah, terdiri dari:
a.
Hasil Pajak Daerah;
b.
Hasil Retribusi Daerah;
c.
Hasil Perusahaan Daerah, Pengelolaan kekayaan
Daerah yang dipisahkan;
d.
Dan Lain-lain pendapatan asli Daerah yang
sah.
2.
Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
a.
Bagi hasil (bagian daerah) dari Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber
daya alam.
b.
Dana Alokasi Umum.
c.
Dana Alokasi Khusus.
3.
Pinjaman Daerah.
4.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Saragih,
(1996:37-38), mengatakan bahwa pembangunan
daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran pembangunan nasional.
Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan potensi, aspirasi
dan permasalahan pembangunan di berbagai daerah sesuai program pembangunan
daerah yang dicanangkan pemerintah dalam repelita VI. Keseluruhan program
pembangunan daerah tersebut dijabarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Di samping itu kunci
sukses dalam pencapaian sasaran pembangunan daerah secara efisien dan efektif.
Konsentrasi pemerintah dalam meningkatkan pembangunan daerah adalah sejalan
dengan semangat otonomi daerah dan pelaksanaan
desentralisasi.
Keterbatasan
dana pusat bagi pembangunan daerah memerlukan strategi pengelolaan dan
pengembangan sumber-sumber keuangan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) tiap-tiap daerah. Strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber
keuangan daerah bagi peningkatan pendapatan asli daerah adalah pertama,
strategi yang berkaitan dengan manajemen pajak/retribusi daerah; kedua,
strategi ekstensifikasi sumber penerimaan daerah; ketiga, strategi dalam rangka
peningkatan efisiensi institusi.
Widayat
(1994:32), menguraikan beberapa cara untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
melalui peningkatan penerimaan semua sumber PAD agar mendekati atau bahkan sama
dengan penerimaan potensialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa secara umum ada dua
cara untuk mengupayakan peningkatan PAD sehingga maksimal, yaitu dengan cara
intensifikasi dan ekstensifikasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa salah satu wujud
nyata dari kegiatan intensifikasi ini untuk retribusi yaitu menghitung potensi
seakurat mungkin, maka target penerimaan bisa mendekati potensinya. Cara ekstensifikasi dilakukan dengan
mengadakan penggalian sumber-sumber obyek retribusi atau pajak ataupun
dengan menjaring wajib pajak baru.
Sehubungan dengan hal tersebut, Mardiasmo dan Makhfatih (2000:8) telah pula
menguraikan bahwa:
“potensi penerimaan daerah adalah
kekuatan yang ada disuatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan
tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan
tentang perkembangan beberapa variabel-variabel ‘yang dapat dikendalikan’
(yaitu variabel-variabel kebijakan dan kelembagaan), dan ‘yang tidak dapat
dikendalikan’ (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi
kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah”.
Berkaitan
dengan pendapat di atas, Alisjahbana (2000:7), dalam penelitiannya
mengungkapkan pentingnnya desentalisasi fiskal dan hubungan keuangan antara
pusat dan daerah. Pada bagian lain dikemukakan tentang upaya daerah untuk
meningkatkan PAD, dikatakan bahwa: “Two measures widely used to indicate local
tax or revenue efforts are: (i) index of tax gap, and (ii) ratio of local own
revenue (PAD) to non-oil and gas GRDP. Both measures try to capture the extent
of the gap between local tax or revenue potential with its effort”. Penjelasan
tentang index of tax gap oleh
Alisjahbana (2000:8) disebutkan bahwa: (hal. 10)
“In order to assess
alternative local government own revenue mobilization, indicators of its
potentials are presented in the form of ‘Index
of Tax Gap’ and own revenue to GRDP ratio at the district level. Several
issues based on draft revision Law 18/1997 are discussed followed by measures
in mobilizing local govenrment own revenue from existing local taxes, and the
feasibility and potential of new local own revenues”.
Selain
perbandingan antara PAD dan PDRB, juga disebutkan bahwa untuk mengetahui
kemungkinan peningkatan PAD maka dapat ditetapkan suatu indikator yang disebut
sebagai “Index of Tax Gap” yang
ditentukan dari perbandingan antara realisasi dan target atau dikatakan sebagai
“The ratio of actual revenue to the
predicted or ‘potential’ revenue is called index
of tax gap”, besarnya indeks yaitu satu dikurangi hasil pembagian antara
realisasi dan target. Pada bagian ini pula diuraikan hasil dari penelitian ini
sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu (hal.
11)
a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah merupakan indikator untuk
memenuhi tingkat kemandirian pemerintahan dibidang keuangan. Dalam
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam pasal
3 memberikan pengertian sebagai berikut: (Undang-undang otonomi daerah).
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber
sumber yang ada di wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memenuhi kebutuhan terhadap keuangan tersebut,
maka daerah perlu mempunyai pendapatan yang jelas agar terdapat kesinambungan
kehidupan organisasi/pemerintahan tersebut. Pemerintahan daerah sebagai
penyelenggara pemerintahan hendaknya mencari sebanyak mungkin pendapatan atau
penerimaan dengan menggali berbagai sumber pendapatan sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah (
Keuangan Negara, 2000, hal 14 ).
Pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan
daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri
dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah
merupakan pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri, tanpa adanya bantuan
dari pemerintah pusat.
Karena daerah adalah bagian dari negara, maka
pendapatan daerah dapat diidentikkan dengan pendapatan suatu negara. Untuk itu
batasan pendapatan daerah dapat disebut sebagai penerimaan atau pemasukan suatu
daearah dari berbagai sumber guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah yang
bersangkutan. Untuk mendukung penyeleggaraan pelaksanaan otonomi daerah
diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab didaerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan. Untuk itu pemerintah
daerah dituntut untuk menetapkan, mengelola PAD..
b. Sumber Pendapatan Asli Daerah
Setiap daerah mempunyai sumber penerimaan, dimana dana
tersebut akan digunakan untuk melaksanakan pemerintahan daerah atau digunakan
untuk menunjang kegiatan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan nasional
umumnya. Karena pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional.
Pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan
daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri
dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah.
Secara umum, pajak daerah dapat dikatakaan sebagai
sumber penerimaan pendapatan asli daerah yang dapat diandalkan karena
penerimaannya selalu mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Selain itu pajak
lebih menguntungkan bagi pemerintah karena pajak mempunyai unsur paksaan yang
bersifat yuridis dan ekonomis. Uang hasil pungutan pajak digunakan untuk
membiayai pengeluaran yang bersifat umum.
Untuk meningkatkan penerimaan retribusi maka pemerintahan daerah harus
meningkatkan fasilitas daan pelayanan/jasa. Uang hasil retribusi digunakan
untuk pemeliharaan, peningkatan fasilitas dan jasa pelayanan oleh pemerintah. Sedangkan
untuk meningkatkan penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainya yang dipisahkan, maka diperlukan investasi yang cukup besar dan
manajemen pengelolaan yang baik terhadap perusahaan daerah
4.
Hubugan Antara Efektifitas dan Efisiensi Retribusi Terminal dengan Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
Dalam Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa tujuan
negara Indonesia adalah mewujudkan masyarakat adil dam makmur dan merata
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di
Indonesia, yang semenjak awal tahun 2001 dilakukan secara serentak otonomi
daerah yang titik beratnya kepada daerah Tingkat II. Otonomi Daerah memberikan
kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerahnya
sendiri secara propesional yang diwujudkan dengan pengaturan dan pemanfatan sumber daya yang ada yang
dimiliki oleh daerah tersebut.
Untuk menjaga keseimbangan pelaksanaan pembangunan
didaerah, karena daerah belum mampu membiayai sendiri pemerintahannya maka
dikeluarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 untuk mengatur Perimbangan antara
Keuangan Pusat dan Daerah, Perimbangan tersebut terdiri dari:
a. Bagian
daerah dari penerimaan pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam
b. Dana
Alokasi Umum (DAU)
c. Dana
Alokasi Khusus (DAK)
Untuk pelaksanaan Perimbangan antara keuangan
pusat dan daerah selama ini mengacu kepada UU No 32 Tahun 1956, dimana
perimbangan keuangan yang berasal dari sumber daya alam diserahkan kepada
pemerintahan pusat, sedangkan penerimaan dari pengolahan kekayaan tersebut
dibagikan kepada daerah berdasarkan Undang- Undang.
Bagi setiap organisasi, penilaian terhadap
kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting karena penilaian tersebut dapat
digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu
tertentu. Penilaian tersebut dapat dijadikan input bagi perbaikan atau
peningkatan kinerja organisasi yang bersangkutan.
Menurut Setiawan (1988:9) “Kinerja berhubungan
dengan penilaian atas kualitas pengelolaan dan kualitas pelaksanaan tugas atau
operasi perusahaan. Aspek lain adalah hubungan organisasi dengan lingkungan
sosial dan lingkungan politiknya”.
Dalam menilai efektifitas dan efisiensi
retribusi terminal serta hubungannya dengan PAD harus dikembalikan kepada apa
alasan dan tujuan dari dibentuknya organisasi pengelola tersebut dimana dalam
hal ini adalah Kantor LLAJ. Bagi organisasi privat yang tujuan pembentukannya
adalah produksi pelayanan/jasa untuk mendapatkan pendapatan retribusi terminal
misalnya, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar ia mampu
berproduksi (productivity) atau seberapa besar keuntungan yang berhasil diraih (economy). Sedangkan dalam organisasi
publik sendiri masih sulit menemukan indikator yang sesuai untuk mengukur
kinerja apakah pelaksanaan pemungutan retribusi terminal serta hubungannya
dengan pendapatan asli daerah (PAD) sudah efektif atau efisien (Fynn, 1986;
Jackson and Palmer, 1992 dalam Bryson, 1995).
Bila dikaji dari tujuan dan misi utama
kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
publik (Dwiyanto, 1995) maka kinerja organisasi publik itu baru dapat dikatakan
berhasil apabila mampu dalam mewujudkan tujuan dan misinya.
Levine dkk dalam Dwiyanto (1995) mengemukakan
3 konsep yang dapat dijadikan sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi
public dimana dalam hal ini adalah Kantor LLAJ, yaitu :
a.
Responsivitas (responsiveness), mengacu kepda keselarasan antara program dan
kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang
diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerja organisasi
tersebut semakin baik.
b.
Responsibilitas (responsibility), menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan
organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang
benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit maupun
yang eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai
dengan prinsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijaksanaan
organisasi maka kinerjanya dinilai
semakin baik.
c.
Akuntabilitas (accountability), mengacu kepada seberapa besar kebijaksanaan dan
kegiatan organisasi publik tunduk kepada para pejabat politik yang dipilih oleh
rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya
atau setidaknya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk
memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat.
Kinerja
berhubungan dengan :
Pertama, aspek-aspek input atau
sumber-sumber dayanya (resources),
antara lain seperti
1. pegawai
(SDM);
2. anggaran;
3. sarana
dan prasarana;
4. informasi;
dan
5. budaya
organisasi.
Kedua berkaitan
dengan proses manajemen :
1.
perencanaan;
2.
pengorganisasian;
3.
pelaksanaan;
4.
penganggaran;
5.
pengawasan;
6.
evaluasi.
Di samping faktor internal tersebut, perlu juga diperhatikan
aspek-aspek lingkungan eksternal yang secara langsung maupun tidak ikut mempengaruhi
kinerja, seperti kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi, juga
pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan input, misalnya wajib pajak, para
pembuat kebijakan, dan sebagainya.
Setiap aspek di atas memiliki potensi yang sama untuk muncul
sebagai faktor dominan yang mempengaruhi kinerja organisasi, baik yang
berpengaruh secara positif maupun negatif. Selanjutnya untuk mengidentifikasi
isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi berdasarkan mandat dan misi
organisasi serta faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang
dihadapi oleh organisasi, kita memerlukan suatu manajemen strategis, untuk
merumuskan strategi dalam rangka mengelola isu-isu strategis tersebut.
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran
Umum Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi yang lazim disebut “Kota Jam Gadang“
dan “Kota Wisata “ ini mempunyai letak yang strategis dan mempunyai hawa yang
sejuk, karena terletak disalah satu puncak Bukit Barisan.
Posisi Kota Bukittinggi terletak antara 1000 20-1000 25 BT dan
000 16- 000200
LS, sekitar 780–950 meter ketinggian diatas permukaan laut, dan memiliki luas
daerah lebih kurang 25,239 Km2. Luas daerah tersebut merupakan 0,06
persen dari luas daerah Propinsi Sumatera Barat. Kota Bukittinggi sebelah Utara berbatasan
dengan Nagari Gadut dan Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Nagari Banuhampu Kecamatan Banuhampu Sungai Puar
Kabupaten Agam. Sebelah Barat berbatasan dengan Ngarai Sianok Guguak dan Koto
Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam. Sedangkan sebelah Timur berbatasan
dengan Nagari Tanjuang Alam, Ampang Gadang Kecamatan IV Angkek Canduang
Kabupaten Agam.
Iklim, Temperatur udara Kota Bukittinggi Berkisar
Maksimum 24,90C dan Minimum 16,10C. Dengan kelembaban udara
berkisar antara Maksimum 90,8% dan Minimum 82,0% serta dengan tekanan udara berkisar antara
22C–25C.
Kondisi alam Kota Bukittinggi merupakan dataran tinggi
yang sebahagian besar adalah daerah pemukiman penduduk dan pasar. Sedangkan
luas daerah yang dimanfaatkan untuk pertaninan sedikit sekali. Sedangkan lokasi
pasar yang begitu luas terdapat di Kecamatan Guguak Panjang yaitu Pasar Aur
Kuning, Pasar Atas dan Pasar bawah.
Secara administratif Pemerintahan Kota Bukittinggi
terdiri dari tiga Kecamatan dan dua puluh empat kelurahan. Gambaran
masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut:
1. Kecamatan
Guguk Panjang dengan luas 6.831 km2, dengan jumlah penduduk sebanyak
38.070 jiwa dengan kepadatan penduduk
yang relatif tinggi, sekitar lebuh
kurang 3.512 jiwa/ km2. Terdiri dari 7 kelurahan. Kecamatan Guguk
Panjang merupakan pusat kegiatan Kota (Perdagangan, Jasa, Pemerintahan,
perhotelan, pendidikan dan kesehatan ) yang diiringi dengan pusat-pusat
pemukiman.
2. Kecamatan
Aur Birugo Tigo Baleh, dengan luas daerah 6.252 km, dengan jumlah penduduk
18.640 jiwa. Dengan kepadatan penduduk sekitar 2.982 jiwa/km2.
Sebahagian besar digunakan untuk sektor pertanian dan pemukiman.
3. Kecamatan
Mandiangin Koto Selayan, dengan luas daerah 12.185 km2, dengan
jumlah penduduk 31.941 jiwa. Sebahagian besar penggunaan lahan untuk pertanian
dan pemukiman.
B.
Perekonomian Kota Bukittinggi
Kota
Bukittinggi merupakan daerah yang mempunyai karakteristik perekonomian yang
berbeda dengan daerah lainnya yang ada di Sumatera Barat. Sesuai dengan rencana
pembangunan kota, dimana visi Pemerintahan Kota Bukittinggi adalah “tewujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi unggulan daerah yang
dijiwai oleh agama dan adat, syarak mangato adat mamakai” potensi unggulan
daerah Kota Bukittinggi itu adalah:
1. Kepariwisataan
2. Jasa
dan perdagangan
3. Pendidikan
4. Pelayanan
kesehatan
Dengan
kata lain keempat sektor tersebut merupakan sektor dominan penyumbang terbesar
diatas 10% terhadap pendapatan daerah Kota Bukittinggi. Sedangkan sektor-sektor
lainnya yang ada merupakan penyumbang dibawah 10% terhadap pendapatan asli
daerah. Sektor-sektor yang ada tersebut dikelola oleh masing-masing dinas yang
ada di Pemerintahan Kota Bukittingi. Dimana hasil dari pengelolaan sektor-
sektor tersebut nantinya akan dijadikan sebagai masukan terhadap Pendapatan
Asli Daerah, dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Kota Bukittinggi.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa perekonomian Kota Bukittinggi bertumpu kepada empat
sektor utama yang dikelola oleh masing-masing dinas yang ada dijajaran
Pemerintahan Kota Bukittinggi. Empat sektor utama itu yaitu:
1. Sektor
Jasa-jasa
2. Sektor
Angkutan dan Komunikasi
3. Sektor
Industri Pengolahan
4. Sektor
Perdagangan Hotel dan Restauran
Dimana
diharapkan untuk tahun-tahun kedepan sector-sektor tersebut tetap menjadi
penyumbang terbesar terhadap perekonomian kota Bukittinggi. Namun demikian
sektor-sektor lain diharapkan juga menjadi penyumbang terbesar terhadap
perekonomian Kota Bukitinggi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator guna menyusun rencana pembangunan dimasa yang akan datang.
Selain dari pada itu diharapkan juga dinas-dinas yang
ada sebagai pengelola dan sebagai pengatur daripada sektor-sektor yang ada
tersebut sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing mampu mengelola dengan
baik sektor-sektor penyumbang terhadap perekonomian serta ekxis dalam melakukan
riseach untuk kemajuan dimasa masa
yang akan datang supaya nantinya Kota Bukittinggi lebih maju lagi dari tahun
sekarang. Dan juga diharapkan kepada seluruh pihak-pihak terkait juga berperan
aktif dalam meningkatkan perekonomian Kota Bukittinggi upaya masyarakat menjadi
makmur lahir dan bathin tanpa kekurangan
C. Potensi
Unggulan Kota Bukittinggi
Semenjak pelakanaan otonomi daerah
tahun 2001 dimana Kota Bukittinggi telah menetapkan visi dan misi selama lima
tahun kedepan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan strategis tahun
2001-2005. Visi Kota Bukittinggi yaitu “Terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui pemanfaatan potensi unggulan
daerah, yang dijiwai oleh agama dan adat, syarak mangato adaik mamakai “
Untuk mewujudkan visi tersebut kota Bukittinggi
menetapkan empat buah misi yakni:
1. Mewujudkan
masyarakat yang berbudaya dan beradat berdasarkan iman dan taqwa
2. Meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang professional dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan yang baik
3. Meningkatkan
kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang mendukung potensi unggulan
kota
4. Meningkatkan
produk domestik bruto.
Visi
dan misi tersebut akan terwujud dengan menggali dan memanfaatkan secara optimal
potensi daerah sesuai dengan fungsi kota yakni :
1. Bukittinggi
sebagai kota perdagangan dan jasa, dimana di Bukittinggi terdapat 4 buah pasar
yaitu; pasar atas, pasar bawah, pasar simpang aur kuning serta pasar banto.
Keempat pasar tersebut sangat berperan sekali dalam perdagangan dan jasa yang
berskala regional. Pasar yang ada tersebut juga berperan sebagai perdagangan
skala nasional untuk wilayah sumatera yaitu pasar aur kuning yang menjanjikan
untuk menghasilkan pendapatan yang banyak bagi Kota Bukitinggi dimasa yang akan
datang kalau dikelola dengan baik.
2. Bukittinggi
sebagai kota wisata, Kota Bukittinggi memiliki daerah yang terletak didaerah
yang unik yang tidak dimiliki oleh daerah lain . Daerah Bukittinggi dilatar
belakangi oleh dua buah gunung yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Merapi serta
Gunung Sago yang dikenal dengan Triarga. Bukittinggi juga memiliki ngarai yang
indah serta panorama alam yang menjanjikan untuk dapat dikembangkan menjadi
objek wisata dimasa yang akan datang, Bukittinggi juga dapat digunakan sebagai
tempat beristirahat bagi para wisata yang ingin berlibur di kota ini. Di Kota
Bukittinggi juga terdapat objek wisata sejarah dan budaya yang dapat
dibanggakan ke wisata yang datang berkunjung. Selain objek wisata yang ada di
kota ini juga ada objek wisata daerah lain yang dekat yang dapat dijangkau dari
kota ini. Bukittinggi juga dikenal sebagai daerah Home Base Wisatawan di Sumatra Barat. Untuk menunjang Kota
Bukittinggi sebagai Kota tujuan wisata maka telah dilengkapi dengan berbagai
sarana dan prasarana pendukung.
3. Bukittinggi
sebagai Kota Pendidikan, mengutamakan pada pelayanan pendidikan formal mulai
dari pendidikan dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Pendidikan non formal
yang berorientasi kepada dunia usaha dan industri. Jangkauan pelayanan
pendidikan tidak hanya untuk masyarakat Bukittinggi tetapi juga untuk masyarakat
luar Bukittinggi seperti Sumatera Barat khususnya, Riau, Sumatera Utara, Jambi
pada umumnya.
4. Bukittinggi
sebagai pusat pelayanan kesehatan, mengupayakan pelayanan kesehatan rujukan dan
pelayanan kesehatan khususnya, dengan jangkauan pelayanan 15% untuk Kota
Bukitinggi 67% untuk masyarakat sumatera Barat, 17,5% untuk masyarakat Luar
Sumatera Barat meliputi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara bagian selatan. Sebagai
tempat peristirahatan Bukittinggi didukung oleh kondisi alam yang sejuk yang
sangat baik untuk memulihkan kesehatan serta memiliki udara yang sejuk, iklim
yang bagus, udara yang segar bebas polusi. Dalam memberikan pelayanan kesehatan
Kota Bukittinggi menyediakan 5 buah
rumah sakit yang senangtiasa mengupayakan pelayanan prima kepada pasiennya.
D. Perkembangan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi
Sedangkan
untuk menggali potensi pendapatan asli daerah Kota Bukittinggi, maka setiap
tahun target penerimaan selalu mengalami perobahan yakni dengan cara
meningkatkan target dari tahun sebelumnya yang berdasarkan perhitungan potensi
yang dilakukan setiap tahunnya, sehingga dilakukan pemungutan terhadap seluruh
sumber pendapatan seintensif mungkin oleh masing masing dinas. Dari hasil
temuan dilapangan diperoleh data tentang Penerimaan Asli Daerah Kota
Bukittinggi semenjak tahun 2002- 2006, seperi tabel berikut:
Table III.1
Jumlah Target dan
Realisasi Pendapatan Asli Daerah
Kota Bukittingi
Tahun 2004 – 2008
Tahun
|
Target
|
Realisasi
|
2004
2005
2006
2007
2008
|
22.468.280.538
21.933.718.510
28.548.413.600
26.219.038.639
27.690.611.668
|
17.301.783.013
18.593.821.880
23.350.123.812
27.826.050.436
34.573.561.291
|
Sumber : Dinas
Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi
Dari tabel III.1 dapat di gambarkan Pendapatan Asli
Daerah Kota Bukittinggi selama lima tahun terakhir serta persentase pertumbuhan
pertahun. Tahun 2004 target sebesar Rp. 22.468.280.538
dengan realisasi sebesar
Rp.17.301.783.013 dengan persentase 77,02 %. Tahun 2005 target
sebesar Rp.21.933.718.510 . dengan
realisasi sebesar Rp.18.593.812.880,- dengan persentase 84,77 %.
Tahun 2006 dengan target sebesar Rp.
28.548.413.600 ,- dengan persentase 87,96 %. Untuk tahun 2007 realisasi sebesar
Rp. 27.826.050.436 ,- dengan persentase 106,14 % sedangkan pada tahun
2008 realisasi sebesar
Rp. 34.573.561.291,- dengan persentase pertumbuhan sebesar 124,86 %.
Dari uraian
diatas dapat dilihat persentase penerimaan Pendapatam Asli Daerah Kota
Bukittinggi selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan baik dari segi
target yang ditetapkan maupun realisasi penerimaan. Hal ini terjadi karena Kota
Bukittinggi merupakan Kota Perdagangan , Kota Wisata, Kota Pendidikan serta
Kota Kesehatan wisatawa local maupun asing dan akan mendapatkan pendapatan yang akan mengalir dari Retribusi
terminal tersebut
E. Perkembangan Penerimaan Retribusi Terminal Kota Bukittinggi
Sedangkan
untuk menggali potensi peneriman retribusi terminal terhadap pendapatan asli
daerah Kota Bukittinggi, maka setiap tahun target penerimaan selalu mengalami
perobahan yakni dengan cara meningkatkan target dari tahun sebelumnya yang
berdasarkan perhitungan potensi yang dilakukan setiap tahunnya, sehingga
dilakukan pemungutan terhadap seluruh sumber pendapatan seintensif mungkin oleh
masing masing petugas dibagian seksi terminal dan perparkiran . Dari hasil
temuan dilapangan diperoleh data tentang Penerimaan retribusi terminal Kota Bukittinggi semenjak tahun 2004- 2008,
seperi tabel berikut:
Table III.2
Jumlah Target dan
Realisasi Retribusi Terminal
Kota Bukittingi
Tahun 2004 – 2008
Tahun
|
Target
|
Realisasi
|
2004
2005
2006
2007
2008
|
864.762.000
907.200.000
818.390.000
414.117.500
401.912.500
|
805.158.400
781.317.100
747.471.000
363.088.000
397.955.600
|
Sumber :
Kantor LLAJ Kota Bukittinggi
Dari tabel III.2 dapat di gambarkan target serta realisasi
penerimaan retribusi terminal Kota Bukittinggi selama lima tahun terakhir.
Tahun 2004 target sebesar Rp. 864.762.000 dengan realisasi sebesar
Rp.805.158.400. Tahun 2005 target sebesar Rp.907.200.000 . dengan realisasi sebesar
Rp.781.317.100,- . Tahun 2006 dengan target sebesar Rp. 818.390.000 ,- Untuk tahun 2007
realisasi sebesar Rp. 363.088.000 ,- sedangkan pada tahun 2008 realisasi
sebesar Rp. 397.955.600,-
Dari uraian
diatas dapat dilihat persentase penerimaan retribusi terminal kota Bukittinggi
selama lima tahun terakhir mengalami penurunan baik dari segi target yang
ditetapkan maupun realisasi penerimaan. Hal ini terjadi karena keadaan ekonomi
Negara Indonesia Umumnya dan Kota Bukittinggi pada khususnya maka dari itu Kota Bukittinggi yang merupakan
Kota Perdagangan , Kota Wisata, Kota Pendidikan serta Kota Kesehatan wisatawa
lokal maupun asing dan supaya gencar melakukan koreksi dan analisa untuk mendaptakan
pendapatan yang akan mengalir dari Retribusi terminal tersebut Walaupun
pada kenyataanya target yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi 100 % apakah yang
menjadi penyebab dari semua ini?.
F. Jumlah Rata-rata Kendaraan yang Masuk Terminal Perhari
Sistem
pemerintahan daerah yang baik yakni dengan terciptanya pemerintah daerah yang
efisien, efektif, transparan, akuntabel dan responsip secara berkesinambungan
senantiasa menjadi dambaan bagi setiap daerah di tanah air, begitu juga halnya
dengan sitem pemungutan retribusi terminal. Syarat pemungutan yang baik seperti diuraikan di atas
diperlukan sebagai alat untuk melaksanakan berbagai pelayanan publik di daerah,
juga sebagai alat bagi masyarakat untuk dapat berperan secara aktif dalam
menentukan arah hidupnya sendiri selaras dengan peluang dan tantangan yang
dihadapi dan tetap menjunjung dan mendukung kepentingan pembangunan daerah.
Sejalan dengan itu bagi pengendara yang kendaraan, pelayanan pemungutan
retribusi yang baik akan berdampak terhadap loyal atau tidaknya mereke
membayar. Untuk itu dapat kita gambarkan rata-rata jumlah kendaraan serta tarif
retribusi yang dikenakan setiap harinya pada tabel berikut ini :
Tabel III.3
Jenis dan Jumlah
Kendaraan serta Tarif Retribusi Teriminal Perhari
NO
|
JENIS
KENARAAN
|
JUMLAH RATA-RATA
|
TARIF RETRIBUSI (Rp)
|
JUMLAH (Rp)
|
1
|
AKAP
|
120
|
2.000
|
240.000
|
2
|
AKDP BESAR
|
87
|
2.000
|
160.000
|
3
|
AKDP SEDANG
|
105
|
1.500
|
157.500
|
4
|
AKDP KECIL
|
218
|
1.000
|
218.000
|
5
|
TAKSI
|
65
|
1.000
|
65.000
|
6
|
TRUK
|
125
|
3.000
|
375.000
|
8
|
ANGKOT
|
300
|
500
|
150.000
|
7
|
ANGDES
|
350
|
500
|
175.000
|
Jumlah
|
1.370
|
11.500
|
1.540.500
|
Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi Bulan
Desember 2008
G.Gambaran Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kota Bukittinggi
Berdasarkan Keputusan
Wali Kota Bukittinggi Tahun 2002 poin a
tentang pembentukan kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan perlu diatur
tugas pokok dan fungsinya yang merupakan unsur Pemerintah Kota Bukittinggi,
yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Kantor Lalu Lintas dan Anggkutan
Jalan mempunyai tugas menyelenggarakan
tugas pokok sebagaimana tersebut dalam surat keputusan tersebut, mempunyai
fungsi pokok yaitu:an
Lalu Lintas dan Angkutane
1. merumuskan
kebijaksanaan teknis dalam bidang oprasional angkutan jalan.
2. pemberian
perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum dibidang angkutan jalan.
3. pembinaan
terhadap unit pelaksana teknis dalam bidang anggkutan jalan
4. pengelolaan
urusan ketatausahaan dinas.
Walaupun
pada prinsipnya pelaksanaan pengelolaan retribusi ini telah menjadi bidang
tugas pokok Kantor LLAJ, akan tetapi dalam pelaksanaannya ada beberapa jenis retribusi
daerah yang pemungutannya diserahkan kepada dinas dan instansi lain. Ketentuan
penyerahan tugas pemungutan retribusi terminal
termaksud ditetapkan secara lugas dalam masing-masing Peraturan Daerah
yang bersangkutan.
Dengan
adanya kebijaksaan penyerahan tugas pemungutan beberapa jenis retribusi kepada
dinas atau instansi lain, bukan berarti LLAJ
tidak lagi mempunyai tanggung jawab atas pengelolaan retribusi dan pajak-pajak
daerah tersebut. Kantor LLAJ tetap berkewajiban membina dan memonitor
perkembangan koordinasi terhadap segala usaha dibidang pendapatan/perpajakan
daerah.
Kemudian
dalam hal ini pelakanaan dibidang pengelolaan pendapatan daerah, ditegaskan
bahwa Kantor LLAJ merupakan coordinator pemungutan retribusi terminal
H. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota
Bukittinggi.
Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 1 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi
Perangkat Daerah yang merupakan pedoman bagi Kantor LLAJ dalam melaksanakan
tugasnya. Susunan organisasi Kantor LLAJ Kota Bukittinggi terdiri dari:
1. Kepala
Kantor
2. Sub
Bagian Tata Usaha
3. Seksi
Teknik Sarana dan Prasarana
4. Seksi
Angkutan
5. Seksi
Lalu Lintas
6. Seksi
Pengendalian dan Operasional
Adapun
fungsi dan tugas masing-masing dinas tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kepala
Kantor
Kepala Kantor mempunyai tugas
membantu Walikota dalam melaksanakan tugasnya dibidang lalu lintas dan angkutan
jalan, meliputi perencanaan dan perumusan kebijakan dalam rangka melaksanakan
tugas Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.
Sub
Bagian Tata Usaha
Bagian Tata Usaha mempunyai
tugas melakukan koordinasi, penyusunan program, pengelolaan urusan keuangan,
kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, hubungan masyarakat dan surat menyurat
dinas serta pembuatan laporan
3.
Seksi
Teknik Sarana dan Prasarana
Seksi Teknik Sarana dan
Prasarana mempunyai tugas melaksanakan menyusunan rencana, pembinaan teknis
pemungutan, pemantauan, penggalian dan peningkatan pengajuan kendaraan
bermotor, melakukan pengendalian kelayakan uji kendaraan dan pemeliharaan
alat-alat
4.
Seksi
Angkutan
Bagian ini mempunyai tugas
melaksanakan kegiatan pembinaan manajemen lalu lintas jalan kota dan jalan
propinsi, penertiban dibidang lalu lintas, penanggulangan kecelakaan sesuai
dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku
5.
Seksi
Pengendalian Operasional
Mempunyai tugas menyiapkan
manajemen pelaksanaan penertiban jalan, melaksanakan pemantauan hambatan
kemacetan lalu lintas di kota Bukittinggi
6.
Seksi
Terminal dan Parkir
Menyiapkan manajemen dalam perencanaan
pembangunan dan pengembangan lokasi terminal, halte dan tempat parkir,
pengendalian kendaraan keluar masuk terminal, pengendalian ketertiban tempat
parkir
Gambar III.1
Struktur Organisasi Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
Kota Bukittinggi
Berdasarkan Keputusan Walikota
Bukittinggi
N0.188.45-15-2002 dan No.16
Tahun 2002
Sumber : Kantor LLAJ
Kota Bukittinggi
BAB IV
ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SISTEM
PEMUNGUTAN RETRIBUSI TERMINAL PADA KANTOR LLAJ
KOTA BUKITTINGGI
Pada dasarnya semua pekerjaan yang akan dikerjakan
supaya menuai hasil sesuai dengan yang diharapkan tidak terlepas dari
perencanaan yang matang dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta
sesuai dengan manajemen yang digariskan oleh pakar ekonomi. Begitu juga dalam
pemungutan retribusi terminal. Dimana dalam hal ini Pemerintah Kota Bukittinggi
melakukan sistem pemungutan retribusi terminal sesuai dengan ketentuan dan
peraturan yang berlaku di Lingkungan Pemerintah Kota Bukittinggi.
A.
Manajemen Penerimaan Pendapatan Daerah
Pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan sama halnya dengan organisasi lainnya seperti perusahaan. Pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan juga membutuhkan manajeman yang
transparan serta dapat diterima oleh
masyarakat banyak karena pemerintah bertugas sebagai pelayan masyarakat yang akan memberikan kontribusi terhadap pelayanan yang dilakukan.
Adapun manajemen penerimaan pendapatan daerah yang
ditetapkan oleh pemerintah Daerah Kota
Bukittinggi yaitu :
1.
Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses cara-cara dan
langkah-langkah yang digunakan dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada untuk mencapai tujuan dan sasaran
organisasi dengan optimal dalam jangka waktu tertentu.
2.
Pengorganisasian
Pengorganisaian merupakan suatu kegiatan untuk menyusun berbagai kegiatan kedalam suatu kesatuan yang saling
berhubungan erat dan merupakan suatu
system dan siklus yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran Pendapatan Asli Daerah.
3.
Staffing
Staffing merupakan suatu jenis kegiatan untuk
mendapatkan personil sesuai dengan kemampuan, keterampilan dan keahlian yang
dimiliki di dalam suatu struktur organisasi, sehingga tujuan dan sasaran dapat
tercapai secara optimal, ekonomis, efektif dan efisien.
4.
Directing
Directing merupakan suatu kegiatan untuk memberikan petunjuk,
arahan dan bimbingan dan pembinaan kepada
bawahan sehingga pelaksanaan tugas dapat
berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5.
Coordinating
Coordinating merupakan suatu proses atau kegiatan koordinasi dan konsultasi yang dilakukan dengan
badan, kantor dan dinas instansi terkait, baik
bersifat struktural maupun fungsional dalam rangka mewujudkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi dengan
tepat waktu, ekonomis, efektif dan
efisien.
6.
Reporting
Reporting adalah merupakan suatu proses kegiatan yang
dilakukan untuk membuat laporan
kegiatan termasuk penentuan target dan realisasi pendapatan daerah baik harian,
mingguan, bulanan serta pendapatan tahunan.
7.
Budgetting
Budgetting merupakan suatu kegiatan untuk menentukan
besarnya budget atau anggaran yang dapat direalisasikan dan besarnya dana
anggaran baik untuk kegiatan rutin maupun pembangunan dengan memperhatikan
program dan kegiatan yang sangat strategis.
B. Manajemen Pemungutan Retribusi terminal
Manajemen pemungutan pajak merupakan salah satu syarat
dalam memperoleh sumber pendapatan atau penerimaan daerah. Dari penerimaan
daerah tersebut yang sebagiannya digunakan untuk menyelenggarakan pemerintah,
pembangunan dan kemasyarakatan yang diatur dengan undang-undang demi
kesejahteraan rakyat.
Secara umum yang dimaksud manajemen pungutan adalah
suatu kegiatan sistem yang dilakukan oleh daerah sebagai pelayan masyarakat
alam hal ini pemerintah untuk memungut pembayaran atas jasa atau pemberian izin
pemasangan retribusi dengan tempat-tempat yang disediakan dan atau diberikan
pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Godhart (1990;59) yang dimaksud manajemen
pemungutan adalah suatu cara atau sistem yang digunakan untuk melaksanakan
pemungutan/penerimaan yang diperoleh atas penguasaan publik dari rumah tangga
swasta, berdasarkan norma-norma yang ditetapkan, berhubungan dengan
prestasi-prestasi yang diselenggarakan berdasarkan atas usul dan kepentingan
rumah tangga swasta dan prestasi tersebut karena berhubungan dengan kepentingan
umum, secara khusus dilaksanakan sendiri oleh penguasa publik yang mana dalam
hal ini adalah pemerintah daerah.
Sedangkan manajemen pemungutan retribusi terminal
menurut Adi Samudra (1997;95) merupakan pungutan langsung yang dikenakan untuk
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelayanan terminal, dan
menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 pasal 1 memberikan pengertian tentang
retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan pemerintah
daerah untuk orang pribadi atau badan.
Kemudian dalam undang-undang ini dijelaskan
klasifikasi manajemen pemungutan sebagai berikut:
1. pemungutan
atas sewa/jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah untuk tujuan
kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang atau badan.
2. adalah
jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan mengatur prinsip-prinsip
komersil karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
3. adalah
kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang
atau badan yang dimaksud untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, pengawasan
atas kegiatan, pemanfaatan ruang, pengunaan sumber daya alam, barang sarana dan
prasarana atau fasilitas tertentu guna kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.
Pada dasarnya retribusi terminal yang dikenakan pada
konsumen hendaknya berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan harus sesuai
dengan banyaknya uang yang dikeluarkan konsumen untuk membayar retribusi
tersebut.
C. Analisis Potensi dan Laju Pertumbuhan Retribusi Terminal
Dilihat
dari letak Kota Bukittinggi yang terletak dipersimpangan dan juga tempat dilakukannya kegiatan pembangunan
sarana Pendidikan, Kesehatan dan perdagangan juga pariwisata Sumatera Barat, maka
peluang pertumbuhan dan perkembangan perekonomian serta pembangunan
industri, berkembang sangat cepat
sekali dibanding dengan daerah Kota/Kabupaten lainnya ditambah lagi dengan
masuknya perusahaan-perusahaan besar swasta yang
mempromosikan hasil produknya ikut mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kota
Bukittinggi selain itu ditambah lagi dengan kota bukittinggi sebagai kota
perdagangan dan kota peringgahan oleh setiap kendaraan yang ingin ke sumatera
bagian utara dan bagian selatan terlebih dahulu harus melewati kota Bukittinggi,
oleh karena itu dituntut peranan Pemda untuk
mengaturnya dengan cara pengenaan retribusi terminal.
Walaupun
daerah Kota Bukittinggi merupakan pusat perdagangan di Propinsi Sumatera Barat yang juga menjadi tempat berkembangnya kegiatan pariwisata, namun bila dilihat dari kontribusi retribusi terminal terhadap PAD selama 5(lima) tahun belakangan ini ternyata belum memuaskan, dimana
kontribusinya kurang. Jadi disini dapat dikatakan retribusi terminal masih
kurang potensial sekali sebagai
penerimaan untuk membiayai pembangunan hal ini dilatar belakangi oleh system
pemungutan yang belum terkelola dengan baik. Kedepan keadaan Kota Bukittinggi
yang terkenal dengan julukan Kota Wisata, Kota Perdagangan, Kota Kesehatan yang
memungkinkan tuntutan untuk pemasangan penataan terminal semakin hari semakin meningkat yang berdampak
positif bagi pembangunan Kota Bukittinggi selama dilakukan sesuai dengan
prosedur dan aturan yang berlaku dan tidak mengganggu keindahan kota.
Potensi penerimaan daerah adalah kekuatan
yang ada disuatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk
melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang
perkembangan beberapa variabel-variabel ‘yang dapat dikendalikan
Berikut
darihasil analisa yang terdapat pada lampiran dapat kita lihat potensi
penerimaan retribusi terminal yaitu
PRT = ( å Km x å RK x
365) / 12
PRT = 479.214.583
Jadi potensi
retribusi terminal untuk dijadikan sebagai penetapan target ditahun yang akan
datang adalah sebesar Rp. 479.214.583, Mengingat Kota Bukittinggi yang
dijadikan sebagai kota perdagangan dan kota pariwisata serta kota pendidikan
yang akan banyak menarik minat semua orang yang akan berkunjung ke Bukittinggi
yang nantinya akan berimbas kepada frekwensi kendaraan yang masuk kedalam Kota
Bukittinggi
Jika dianalisis
dari laju pertumbuhannya, maka laju pertumbuhan retribusi terminal dapat kita
lihat pada lampiran, tahun 2005 sampai tahun 2007 laju pertumbuhan retribusi terminal
menunjukan nilai negarif yaitu – 2,96%,
tahun 2005, - 4,33% tahun 2006 dan yang paling parah yakni tahun 2007 – 51,42% hal ini terjadi karena keadaan
krisis ekonomi terparah yang melanda Indonesia umumnya dan Kota Bukittinggi
khususnya yang artinya terjadi
penurunan realisasi penerimaan dari pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk
tahun 2008 laju pertumbuhan retribusi terminal sedikit mengalami peningkatan
yakni 9, 60%.:
D. Analisis Kontribusi Retribusi Terminal
Terhadap Pendapatan Asli Daerah
Retribusi terminal merupakan pendapatan
daerah yang berpotensi untuk dikembangkan
mengingat retribusi merupakan salah satu
kebutuhan masyarakat. Seiring dengan
perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, retribusi juga berkembang dari bermacam-macam bentuk. Retribusi
terminal merupakan salah satu unsur
penerimaan Pendapatan Asli Daerah, besar kecilnya penerimaan retribusi terminal
tergantung pada potensi yang ada, kinerja
pemerintah daerah, serta kesadaran masyarakat dalam
membayarnya. Dengan meningkatnya penerimaan daerah pada sektor Retribusi
terminal, maka semakin besar pula kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Untuk melihat
kontribusi yang diberikan oleh Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli
Daerah digambarkan pada tabel berikut:
Tabel IV.1
Kontribusi Retribusi terminal Terhadap Pendapatan
Asli Daerah
Tahun 2004-2006
Tahun
|
Realisasi Penerimaan Retribusi
Terminal
|
Realisasi Penerimaan PAD
|
Konibusi Retribusi Terminal
Terhadap PAD
|
2004
2005
2006
2007
2008
|
805.158.400
781.317.100
747.471.000
363.088.000
397.955.600
|
17.301.783.013
18.593.821.880
23.350.123.812
27.826.050.436
34.573.561.291
|
46,54 %
42,02 %
32,01 %
13,05 %
11,51 %
|
Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dan
data diolah
Jika dilihat dari tabel IV.1 terlihat bahwa kontribusi
Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah sangat kecil sekali dimana
selama lima tahun anggaran tersebut tidak ada
kontribusi Retribusi terminal mencapai 50 persen. Bila dilihat kontribusi Retribusi terminal terhadap
Pendapatan Asli Daerah yang tertinggi selama lima tahun terakhir terjadi pada tahun anggaran 2004, dimana kontribusinya sebesar 46,54 persen. Kontribusi Retribusi
terminal yang terendah terjadi pada tahun 2008, dimana kontribusinya hanya
sebesar 11,51 persen. Bila dilihat
kontribusi Retribusi terminal selama lima tahun anggaran tersebut cenderung mengalami penurunan, artinya peranan retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli
daerah Kota Bukittinggi sangat kecil sekali,
sepertinya sektor ini kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Kota
Bukittinggi.
Dari uraian diatas terlihat bahwa Kontribusi
Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Bukittinggi selama lima tahun anggaran terakhir relatif sangat kecil sekali.
Sepertinya Pemerintah Kota Bukittinggi
harus meningkatkan lagi kinerja dan mengembangkan potensi-potensi yang ada.
Kecilnya kontribusi retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi disebabkan oleh potensi yang ada belum digali seutuhnya, dimana masih adaya kebocoran-kebocoran dalam
pelaksaaan pemungutan dilapangan serta variable lain yang mempengaruhi kenapa retribusi
terminal tersebut belum memberikan kontribusi yang semestinya
Kecilnya kontribusi Retribusi terminal terhadap
Pendapatan Asli Daerah sangat
memprihatinkan sebab pada era otonomi daerah nanti Pemerintah Daerah dituntut untuk menggali sumber-sumber keuangan
yang ada. Jadi kalau selama ini peranan
retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah relatif sangat kecil,
diharapkan pada masa mendatang Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi mampu
meningkatkan Penerimaan Asli Daerah
khususnya Retribusi terminal dengan cara mengevaluasi kinerja selama
ini, mendata kembali objek retribusi/ kendaraan baru yang menggnakan jasa
terminal dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia serta mengelola manajemen pemungutan serta seefektif dan seefisien
mungkin.
E. Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistim
Pemungutan Retribusi terminal Terhadap
Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi
1. Analisis Efektifitas
Efektifitas
dan efisiensi sistim pemungutan retribusi terminal suatu daerah sangat
bergantung kepada manajeman dan
biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pemungutan tersebut serta diperlukan
untuk mengetahui apakah suatu retribusi itu
potensial atau tidak di suatu daerah dan
bagaimana kinerja dari pemerintah daerah dalam mencapai target yang menjadi potensi dari retribusi terminal
tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana efektifitas sistim pemungutan dari retribusi terminal di Kota
Bukittinggi dilihat dari biaya yang dikeluarkan serta realisasi dari penerimaan
dapat dilihat dari pada tabel IV.2 berikut ini :
Tabel IV.2
Efektifitas Retribusi terminal Kota Bukittinggi
Tahun 2004 -2006
Tahun
|
Target Penerimaan
Retribusi Terminal
|
Realisasi
Penerimaan Retribusi Terminal
|
Efektifitas
Pemungutan Retribusi Terminal (%)
|
Kriteria
|
2004
2005
2006
2007
2008
|
864.762.000
907.200.000
818.390.000
414.117.500
401.912.500
|
805.158.400
781.317.100
747.471.000
363.088.000
397.955.600
|
93,11
86,12
91,33
88,32
99,02
|
Sangat
Efektif
Sangat
Efektif
Sangat
Efektif
Sangat
Efektif
Sangat
Efektif
|
Sumber :
Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dan data diolah
Dari tabel IV.2 yang telah disajikan di atas
terlihat penerimaan retribusi terminal di Kota Bukittinggi sangat efektif dalam
periode lima tahun terakhir, karena
hampir 90 % dari potensi tercapai, cuma pada tahun 2006 retribusi terminal kelihatan kurang efektif
dengan efektifitas sebesar 86,12 %
dibanding tahun-tahun lainnya, ini mungkin disebabkan karena disamping
Indonesia mengalami krisis ekonomi
yang mempengaruhi perekonomian Kota Bukittinggi juga mengalami krisis politik.
2.
Analisis Efisiensi
Adapun tingkat efisiensi sistim pemungutan dari
suatu retribusi juga dapat dilihat dari besarnya biaya pungut yang dikeluarkan dibandingkan dengan
realisasi penerimaan dari retribusi
yang bersangkutan. Untuk mengetahui efisiensi dari retribusi terminal tersebut
dapat digambarkan pada tabel IV.3 berikut ini :
Tabel IV.3
Efisiensi Retribusi Terminal Kota Bukittinggi
Tahun 2004 – 2008
Tahun
|
Target Penerimaan
Retribusi Terminal
|
Realisasi
Penerimaan Retribusi Terminal
|
Efisiensi Pemungutan
Retribusi Terminal (%)
|
Kriteria
|
2004
2005
2006
2007
2008
|
864.762.000
907.200.000
818.390.000
414.117.500
401.912.500
|
805.158.400
781.317.100
747.471.000
363.088.000
397.955.600
|
5,37
5,80
5,47
5,70
5,05
|
Sangat
Efisien
Sangat
Efisien
Sangat
Efisien
Sangat
Efisien
Sangat
Efisien
|
Sumber :
Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dan data diolah
Dari tabel IV.3 terlihat rata-rata system
pemungutan retribusi terminal diukur dari biaya pungut yang dikeluarkan selama
priode 2004-2008 terhadap realisasi penerimaan retribusi terminal
relatif sangat efisien. Jika keadaan ini
terus berlanjut dan tetap dipertahankan maka akan berdampak positif terhadap
kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah kota Bukittinggi melalui kantor
LLAJ dalam penetapan target retribusi terminal ditahun-tahun yang akan datang
untuk dipungut menjadi sumber penerimaan daerah Kota Bukittinggi.
F. Kendala-Kendala dalam Pemungutan Retribusi
terminal
Kendala-kendala
yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
khususnya Kantor LLAJ Kota Bukittinggi sebagai instansi yang mengelola langsung pemungutan retribusi terminal antara
lain:
1.
Perhitungan
penerimaan pada masing-masing obyek retribusi terminal belum sepenuhnya optimal, sehingga berakibat rendahnya target dan
realisasi penerimaan Retribusi
terminal di Kota Bukittinggi.
2.
Masih terdapatnya masyarakat sebagai pengguna
jasa terminal yang tidak membayar retribusi sesuai dengan peraturan dan tarif
yang ada
3.
Tidak adanya
ketegasan atau sanksi hukum yang tepat
bagi masyarakat yang tidak membayar retribusi terminal sebagai
kewajibannya sebagai pengguna sarana dan prasarana yang telah ada.
4.
Belum adanya
pemahaman dari semua unit kerja terkait dengan tugas pokok, fungsi serta kewenangan satuan kerja yang
menangani retribusi terminal.
5.
Adanya oknum
operator dari masing-masing bagian
yang belum mempunyai sikap mental jujur serta penuh tanggung jawab dalam
melakukan pengelolaan retribusi terminal dan kurangnya pengawasan dilapangan baik terhadap wajib pajak maupun terhadap petugas pemungut/pengelola..
6.
Kurangnya
kinerja petugas untuk mengevaluasi/meninjau kembali pendataan wajib
retribusi terminal, dimana sistem pendataan obyek dan subyek retribusi terminal yang digunakan selama ini masih berdasarkan tahun sebelumnya, pada hal potensi cukup besar
untuk digali dan ditingkatkan.
Permasalahan tersebut hampir ada disetiap tahun
ditemui, baik dalam operasional
dikantor maupun pelaksanaan di lapangan serta dalam pembuatan keputusan, hal ini juga bisa berkaitan dengan
pengambilan kebijakan dalam perencanaan anggaran supaya ke depan dapat
diperbaiki dan dapat dioptimalkan.
G. Kebijaksanaan
dan Upaya untuk Meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi
Sistem Pemungutan Retribusi terminal
1. Usaha
Pokok
Yang dimaksud dengan usaha pokok adalah usaha
yang dilakukan dalam rangka
pemungutan dan peningkatan Retribusi terminal yang antara lain adalah :
a. Adanya
dasar hukum yang jelas dan tegas
Untuk
dapat berjalannya suatu pungutan, hendaklah didukung oleh peraturan yang memuat secara tegas dan rinci
tentang objek pemungutan, subjek
pungutan, tata cara pelaksanaan, tarif dan sanksinya agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami hambatan. Jika dalam peraturan yang belum diatur secara tegas
dan rinci hal tersebut diatas dapat
disempurnakan dengan melahirkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) atau
Petunjuk Teknis (Juknis) untuk pelaksanaan peraturan
tersebut.
b. Objek terdata dengan baik
Sebelum
dilakukan pemungutan terhadap Retribusi terminal hendaknya potensi objek retribusi telah terdata dengan baik. Hal ini dapat
digunakan sebagai alat untuk mengukur
apakah objek retribusi tersebut sudah memenuhi aspek ekonomis dan aspek teknis.
c.
Kesungguhan
dan tanggung jawab petugas pemungut
Dalam
hal ini ketegasan dan perbinaan dari atasan terhadap bawahan sebagai petugas pemungut sangat diperlukan, agar
bawahan tidak merasa terbebani melainkan merasa diberi kepercayaan untuk menjalankan tugasnya, sehingga akan
menimbulkan rasa tanggung jawab dan
kebanggaan dalam melaksanakan tugasnya.
d.
Kontrol yang
kontinue dari pejabat yang berwenang
Walaupun tugas sudah dibagikan
kepada para bawahan, bukan berarti tanggung
jawab telah berpindah kepada bawahan. Oleh sebab itu untuk mengetahui apakah suatu tugas sudah
berjalan sebagaimana mestinya,
diperlukan kontrol yang kuntinue dari pejabat yang berwenang. Disamping itu bawahan yang diberi tugas
akan merasakan bahwa tugas yang
dilakukannya diperlukan untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan tugas organisasi.
e.
Adanya
peningkatan koordinasi
Dalam rangka meningkatkan
penerimaan Retribusi terminal,
kordinasi dengan berbagai pihak sangat
diperlukan, sehingga diharapkan semua pihak
dapat mendukung kebijaksanaan tentang upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dalam hal ini misalnya
dengan instansi terkait dan aparat yang mungkin dapat mendukung
pelaksanaan tugas yang dilaksanakan.
2. Usaha Pendukung
Untuk
kelancaran pemasukan pendapatan daerah diperlukan usaha pendukung yang antara lain sebagai berikut :
a.
Teknik-teknik dalam pemungutan
Dalam
pelaksanaan pemungutan Retribusi terminal terlebih dahulu harus diketahui subjek atau orang yang akan membayar
pungutan/ tersebut. Ada beberapa hal
yang menyebabkan orang mau membayar kewajibannya,
diantaranya dikarenakan oleh rasa takut, rasa segan atau malu
terkena sanksi ataupun hal-hal yang akan merusak citranya sendiri. Sebagai petugas pemungut harus jeli
mengkategorikan hal-hal yang akan menyebabkan orang akan membayar kewajibannya tersebut.
b.
Sosialisasi atau memasyarakatkan peraturan
Upaya pendukung lainnya yaitu dengan cara memasyarakatkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur tentang Retribusi terminal,
guna meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar kewajibannya.
c. Meningkatkan sarana dan prasarana kerja dan
kemampuan personil Kantor LLAJ Kota
Bukittinggi yang merupakan suatu organisasi
yang berwenang melaksanakan dan mengurus bidang pendapatan daerah. Seperti pajak, retribusi dan semua penerimaan lainnya yang menjadi sumber pendapatan daerah
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, berkewajiban dan berupaya untuk meningkatkan penerimaan pendapatan
daerah setiap tahunnya.
Dalam upaya melaksanakan koordinasi, maka perlu
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Melibatkan
Kepala Daerah dan unsur Muspida lainnya
untuk menegakkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku,
2. Meningkatkan peranan Dinas/instansi/lembaga yang
langsung mempunyai sumber pendapatan
daerah untuk mengelola sumber-sumber tersebut baik dalam rangka
intensifikasi maupun ekstensifikasi
dibawah koordinasi Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi,
3. Mendorong lebih aktif peranan instansi
penunjang dan instansi pendukung untuk secara bersama-sama ikut memikirkan dan
secara terkoordinasi mengupayakan peningkatan pendapatan daerah
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berpedoman pada uraian
yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya
maka pada bab ini penulis mengungkapkan hal-hal pokok yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Potensi
retribusi terminal Kota Bukittinggi untuk tahun selanjutnya adalah sebesar Rp. 479.214.583 cendrung
mengalami peningkatan dari tahun sebelumya hal ini disebabkan kota
Bukittinggi untuk tahun-tahun yang akan datang sudah mempunyai empat visi yang
relevan dengan potensi yang dimilikinya serta pemanfaatan terminal sebagai
sarana transportasi yang menjanjikan dalam pemungutan retribusi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kota Bukittinggi.
2.
Kontribusi
retribusi terminal terhadap PAD selama priode 2004-2008 relatif kecil,
dimana kontribusi retribusi terminal
terhadap PAD masih dibawah yang diharapkan dengan serta cendrung menurun hal ini secara umum
disebabkan karena keadaan ekonomi Indonesia umumnya dan ota Bukitingi khususnya
mengalami penurunan yang berdampak terhadap kontribusi retribusi terminal Dengan demikian berarti retribusi terminal
memberikan sumbangan kepada PAD masih
belum sesuai dengan target yang ditetapkan, kontribusi terbesar retribusi
terminal terhadap PAD terbesar pada tahun
2004 yaitu sebesar 46,54 % sedangkan kontribusi terendah yaitu pada tahun 2008
sebesar 11,05 %.
3.
Rendahnya
kontribusi retribusi terminal terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah
disebabkan karena sedikitnya potensi retribusi terminal pada Kota Bukittinggi,
dan masih banyak objek retribusi terminal yang belum terdata serta belum
maksimalnya pengelolaan Retribusi terminal yang ada.
4.
Bila dilihat
dari efektifitas sistem pemungutan
retribusi terminal di Kota Bukittinggi sudah sangat baik, ini terlihat dari pencapaian realisasi mendekati potensi yang sebenarnya. Sedangkan efisiensi sistem pemungutan
retribusi terminal berdasarkan biaya
operasional sudah sangat memadai sehingga retribusi terminal ini sangat potensial untuk dipungut.
5.
Penyusunan
rencana penerimaan Retribusi terminal belum dapat dilaksanakan dengan cara
perhitungan potensi karena sistim pendataanya belum sempurna.
6.
Mekanime
pelaksanaan Sistim Pemungutan retribusi terminal yang dilakukan oleh Kantor
LLAJ Kota Bukittinggi sudah banyak mengacu kepada Pemendagri Nomor 13 Tahun
2006 dan peraturan-peraturan lainnya.
B. Saran
Berdasarkan hasil dari pengamatan yang dilakukan
penulis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut
1.
Seiring dengan
berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, maka begitu juga halnya dengan perkembangan dunia usaha maka dengan
sendirinya perlu diadakan promosi yang mana dalam hal ini retribusi/iklan, oleh
karena itu perlu adanya peremajaan data, dalam hal ini objek retribusi
terminal yang belum terdata sudah semestinya didata dan dijadikan potensi untuk
meningkatkan penerimaan daerah dengan sistem komputerisasi.
2.
Dalam
penentuan target semestinya berdasarkan potensi yang ada, bukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun lalu.
3.
Untuk lebih meningkatkan lagi penerimaan dari
retribusi terminal ini diharapkan lagi
kerjasama yang maksimal dengan berbagai Dinas dan Instansi yang terkait.
4.
Meningkatkan kualitas SDM aparat dengan cara
mengikuti pelatihan, kursus-kursus serta
studi banding dengan daerah di luar
Kota Bukittingi guna meningkatkan wawasan serta menambah pengetahuan aparat dalam rangka meningkatkan penerimaan
pajak daerah khususnya retribusi
terminal.
5.
Evaluasi
terhadap pelaksanaan pcmungutan retribusi terminal dilakukan oleh Kantor LLAJ
Kota Bukittinggi dalam bentuk perbandingan antara
realisasi penerimaan dengan target penerimaan. Evaluasi yang seharusnya dilaksanakan berkaitan erat dengan
rencana peningkatan dan efektititas
penerimaan.
6.
Meningkatkan
kinerja dan pengawasan terhadap
petugas pengelola/pemungut retribusi dilapangan dengan memperbaiki sistem kerja bagi petugas pemungut/pengelola misalnya mengadakan sistem aplusan atau mutasi antar aparat
pengelola pada kantor LLAJ untuk
mencegah terjadinya kolusi, korupsi atau kebocoran-kebocoran lainnya.