Sabtu, 01 September 2012

“ Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistem Pemungutan Retribusi Terminal Pada Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ ) Kota Bukittinggi”.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pemerintahan daerah yang baik yakni dengan terciptanya pemerintah daerah yang efisien, efektif, transparan, akuntabel dan responsip secara berkesinambungan senantiasa menjadi dambaan bagi setiap daerah di tanah air. Syarat pemerintahan yang baik seperti diuraikan di atas diperlukan sebagai alat untuk melaksanakan berbagai pelayanan publik di daerah, juga sebagai alat bagi masyarakat untuk dapat berperan secara aktif dalam menentukan arah hidupnya sendiri selaras dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dan tetap menjunjung dan mendukung kepentingan pembangunan daerah.

Menurut Silalahi (2000:87) bahwa desentralisasi atau pemberian otonomi yang lebih luas bagi daerah secara lugas memperhitungkan kemampuan ekonomis suatu daerah. Kemudian bila diikuti dengan perubahan organisasi pemerintahan, niscaya Indonesia akan keluar dari ancaman disintegrasi bangsa. Untuk memenuhi persyaratan dan mencapai tujuan pemerintahan yang baik sebagaimana diuraikan di atas, maka pemerintah daerah membutuhkan suatu landasan untuk bergerak lebih leluasa yaitu berupa sistem desentralisasi.

Desentralisasi mencakup pelimpahan tanggung jawab fiskal, politik, dan administrasi kebijakan. Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah berdasarkan kepada azas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, khususnya di Indonesia tertuang dalam undang-undang nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang kecuali kewenangan di bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan keamanan, Peradilan, Moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pelaksanaan otonomi yang nyata dengan terciptanya keleluasaan daerah seperti tersebut diperlukan untuk mendukung tumbuh kembang pembangunan di daerah. Otonomi yang bertanggungjawab atas pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang diemban dituntut guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik. Sistim pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama termasuk Indonesia  yang secara legal konstitusional menganut negara kesatuan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka sistem hubungan keuangan pemerintah pusat-daerah mengalami perubahan komposisi dan fungsi sesuai yang diatur dalam Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Demikian pula selanjutnya keuangan daerah lebih banyak ditentukan oleh kemampuan daerah dalam mengelola sumber pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi guna membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Kebebasan untuk mengelola sumber-sumber potensi dan menentukan arah penggunaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat tanpa adanya intervensi pemerintah pusat akan meningkatkan kreativitas pemerintah daerah dalam menggali sumber yang potensial dan meningkatkan efektifitas, efisiensi dalam penggunaannya.

Sejalan dengan tuntutan kemajuan dunia yang menuju era globalisasi, maka peningkatan efektifitas dan efisiensi sangat mendesak untuk dilaksanakan. Peningkatan wawasan dan pendidikan masyarakat di suatu daerah akan menciptakan situasi di mana masyarakat akan menuntut peningkatan kualitas pelayanan dari pemerintah. Hal ini sejalan dengan pendapat Cigler (1996), bahwa “a more educated and skeptical citizenry, using self-defined notions of accountability, is leading many local officials to embrace new management paradigms.… Quality-related concerns have received heigtened attention” (lihat Roy dan Seguin 2000:449 ).

Di dalam negara kesatuan, tergantung kepada sistem dan hakekat politik pemerintah dalam memberikan keleluasaan tersebut. Namun betapapun keleluasaan itu diberikan, tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh  secara obsolut dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan daerah lain dan kepentingan nasional secara keseluruhan dam negara kesatuan.

Perbedaan kepentingan antara kebiasaan berotonomi dan memelihara terjaganya eksistensi negara serta persatuan dan kesatuan bangsa, biasanya cendrung timbul kekhawatiran pemerintah pusat  akan terjadinya upaya memisahkan diri (Separatisme) dari daerah apabila daerah diberi keleluasaan dalam melaksanakan otonomi yang seluas-luasnya.

Keserasian dan keselarasan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara otonom dengan kebutuhan masyarakat, merupakan landasan bagi terwujudnya pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud pula peningkatan kualitas pelayanan sebagai diungkap di atas. Sejalan dengan diberikannya kewenangan dan tanggung jawab kepada daerah kabupaten dalam mengurus rumah tangganya sendiri, maka akan semakin meningkat interaksi langsung antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Aparat dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan  dan  kebutuhan.  Di samping  memberikan  pelayanan, aparat pemerintah juga dituntut untuk dapat memiliki kemampuan dalam mengembangkan daerahnya baik dalam merencanakan maupun melaksanakan pembangunan di daerah.

Oleh karena adanya perubahan sumber dana pembangunan dan pembiayaan kegiatan pemerintah daerah karena pelaksanaan otonomi, maka pemerintah daerah perlu memperhatikan faktor pendukung pelaksanaan otonomi diantaranya:

1.      ketersediaan sumber daya manusia yang  memadai, khususnya aparatur pemerintah daerah dan masyarakat;

2.      potensi ekonomi daerah sebagai sumber pendapatannya sendiri;

3.      kemampuan pengelolaan keuangan daerah; dan

4.      kemantapan institusi di daerah. Kemandirian daerah merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan mengingat gejala globalisasi dalam segala aspek kehidupan menuntut bahwa tidak hanya satu negara namun juga daerah dan bahkan individu harus berpikir global.

Setiap Pemerintah daerah harus dapat bersaing dengan pemerintah daerah lainnya untuk dapat meningkatkan sumber-sumber dana bagi pembangunan daerahnya (Santoso, 1995:19). Kemandirian keuangan daerah tampaknya tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonomi harus dapat membiayai seluruh keperluannya dari pendapatan asli daerah (PAD), tetapi hanya merupakan salah satu komponen  sumber penerimaan daerah, di samping penerimaan lainnya yang berupa Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain PAD yang dipisahkan.

            Berdasarkan karakteristik data yang diuraikan pada bagian terdahulu, diketahui bahwa realisasi dan jumlah kendaraan mengandung hubungan persamaan matematis yaitu berbanding lurus, yang berarti bila jumlah kendaraan meningkat maka realisasi juga meningkat. Hal ini akan digunakan untuk mendukung hasil temuan dalam analisis tingkat potensi dalam bagian berikutnya, yaitu pada bagian pembahasan hasil analisis. Kemudian, hasil analisis efektivitas dan efisiensi akan mengarahkan pada kesimpulan dan saran untuk mengadakan perubahan pengelolaan pungutan retribusi bilamana diperlukan. Komponen (variabel) biaya pungut yang ditetapkan secara pasti dalam peraturan daerah hanya berupa upah pungut (komisi) yang besarnya 5% dari realisasi.

            Berdasarkan hal tersebut diatas, maka untuk selanjutnya, bilamana memungkinkan terhadap perhitungan efisiensi dan efektifitas , total biaya pungut akan diasumsikan sebagai 5% dari total biaya belanja rutin Dinas Pendapatan Daerah atau LLAJ, sebagai upah pungut sebagaimana disebutkan datur dalam peraturan daerah. Oleh karena bila hanya dengan menggunakan upah pungut sebesar 5% dari realisasi, sedangkan biaya lainnya diabaikan karena termasuk dalam biaya rutin, maka tingkat efisisensi pemungutan sangat rendah hal ini terjadi karena yang memungut adalah petugas/ pegawai yang  sudah mendapatkan gaji rutin tiap bulannya. Rendahnya target penerimaan retribusi terminal hal  itu terjadi  karena penentuannya hanya didasarkan pada realisasi tahun sebelumnya dengan penambahan tingkat persentase tahun tertentu hal ini sangat tidak efektif karena nantinya ini akan berdampak terhadap kontribusinya pada PAD

Untuk meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah, salah satu alternatifnya adalah dari penerimaan retribusi terminal yang mungkin dapat diandalkan dan ditingkatkan penerimaannya di Kota Bukittinggi untuk tahun-tahun kedepan, mengingat potensi pariwisata dan perdagangan yang dimiliki oleh kota ini sehingga pihak pengusaha  serta para pedagang dari luar kota Bukittinggi berlomba-lomba datang untuk berkunjung sekaligus berbelanja, menggunakan kendaraan, selain itu kota Bukittinggi yang menjadi sentra perdagangan atau yang lebih dikenal dengan Tanah Abang kedua juga menjadi daerah perlintasan baik kendaraan yang datang dari bagian Utara Sumatera maupun bagian Timur juga daerah lainnya yang membayar retribusi. Tetapi pada kenyataannya penerimaan retribusi tidak sesuai dengan target yang ditetapkan setiap tahunnya. Untuk itu penulis tertarik mengetengahkan persoalan mengenai retribusi terminal ini  dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“ Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistem Pemungutan Retribusi Terminal Pada Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ ) Kota Bukittinggi”.

B.  Perumusan Masalah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam tentang potensi retribusi terminal bis dan taksi yang wajar atau riil di Kota Bukittinggi. Oleh karena itu, permasalahan yang dapat diajukan yaitu

1.      Berapa besar potensi retribusi terminal yang sebenarnya guna menjadi dasar penetapan target yang wajar sehingga realisasi bisa optimal ?

2.      Bagaimana kontribusi retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi.?

3.      Berapa tingkat efektifitas dan efisiensi pemungutan retribusi terminal  di Kota Bukittinggi?

C.  Pembatasan Masalah.

Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah hanya pada ruang lingkup Potensi penerimaan, efektifitas dan efisiensi pemungutan Retribusi terminal serta kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dikelola Kantor LLAJ dan selanjutnya diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi serta kebijaksanaan apa yang akan diambil dengan berpedoman kepada data lima tahun terakhir, yaitu data tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008.

 

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan penelitian.

a.       Untuk mengetahui berapa besar potensi retribusi terminal di Kota Bukittinggi.

b.      Untuk mengetahui berapa besar kontribusi retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi.

c.       Untuk mengetahui berapa efektif dan efisien  pemungutan retribusi terminal  Kota Bukittiggi

d.      Untuk mengetahui kebijaksanaan dan tindakan apa yang dilakukan Pemda untuk meningkatkan penerimaan retribusi terminal dan  Pendapatan Asli Daerah.

2. Manfaat penelitian

a.       Untuk peneliti

Untuk menambah wawasan serta pedoman bagi peneliti dalam dunia kerja terutama yang berhubungan dengan teori-teori yang diperoleh dibangku kuliah dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti-peneliti lain selanjutnya dimasa yang akan datang.

b.      Untuk Pemerintah Daerah dan Masyarakat Kota Bukittinggi.

Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pengelolaan dan peningkatan penerimaan keuangan daerah dari penerimaan retribusi yang optimal, khususnya yang berkaitan dengan upaya meningkatkan pemungutan retribusi terminal.

 

 

E. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, diketahui bahwa beberapa atau sebahagian besar Pemda sebelum otonomi daerah belum mengoptimalkan penerimaan dari retribusi karena masih mendapat dana dari Pemerintah Pusat. Sebagai upaya untuk meningkatkan PAD, maka pengelolaan retribusi masih perlu dikaji untuk menentukan besarnya potensi yang riil (wajar), tingkat efektifitas dan efisiensi pemungutan retribusi, khususnya retribusi terminal bis dan taksi, supaya tidak justru sebaliknya, yaitu membebani anggaran daerah.

Devas, dkk., (1989:46), mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung dari Pemerintah Pusat. Dalam garis besarnya, penerimaan daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya menutup seperlima dari pengeluaran pemerintah daerah. Meskipun banyak pula negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Memang, pemerintah daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” artinya memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat  mengadakan perubahan  di sana  sini  pada tingkat jasa layanan yang disediakan. Untuk itu mungkin sudah mamadai jika 20 % dari pengeluaran berasal dari sumber-sumber daerah. Hal tersebut sejalan dengan uraian oleh McQueen (1998:12-18) bahwa:

 

 

Pertimbangan lain dalam meningkatnya retribusi yaitu peran masyarakat (publik) dalam politik. Masyarakat tidak senang terhadap perubahan dan hanya akan toleransi terhadap pembayaran retrebisi, bukan semata sebagai sumber utama pendapatan daerah tetapi hanya dana pendamping.

Retribusi Daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran memakai atau karena memperoleh jasa pelayanan langsung usaha milik daerah untuk kepentingan umum atau karena diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung. Sementara di dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 pasal 1 ayat 24 disebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan sebagai pembayaran pemakaian atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi/badan.menurutGei (1968):78) (lihat Bahrun, 1997:17).

Oleh karena merupakan pembayaran atas penggunaan barang atau jasa yang disediakan untuk umum oleh pemerintah, maka penarikannya biasanya dilakukan di tempat pemakaian itu, tetapi boleh juga ditagihkan kepada badan/orang pribadi atas dasar pembayaran dengan penggunaan terbatas (dijatahkan) atau pembayaran dengan periode waktu yang disepakati. Retribusi terminal bis dan taksi, dapat dibayarkan berkala langsung ke  Dinas pendapatan daerah atau ke Kantor LLAJ. Hal di atas sejalan dengan uraian oleh McQueen (1998:12-18) tentang permasalahan dan kebijaksanaan pelayanan oleh pemda. Dikatakan pula bahwa persaingan retribusi antar pemda tidak akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan tarif, yang penting yaitu bila ada pemda yang berdekatan mengadakan atau menyediakan barang atau jasa yang sama, maka saling tukar informasi menjadi penting untuk mengurangi resiko kerugian.  Lebih lanjut diuraikan pula definisi dan pengertian yang berkaitan dengan retribusi yaitu dikutip dari Sproule-Jones and White yang menyatakan bahwa retribusi adalah semua bayaran yang dilakukan bagi perorangan dalam menggunakan layanan yang mendatangkan keuntungan langsung dari layanan itu lebih lanjut dikatakan bahwa retribusi lebih tepat dianggap pajak konsumsi daripada biaya layanan; bahwa retribusi hanya menutupi biaya operasi saja. Pada bagian lain McQueen (1998:2) mengungkapkan bahwa:

Suatu tanggapan menekankan memperjelas kenyataan bahwa masyarakat memandang retribusi sebagai bagian dari program bukan sebagai pendapatan daerah dan bersedia membayar hanya bila tingkat layanan dirawat dan ditingkatkan. Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bagian yang gampang dalam menyusun retribusi yaitu menghitung dan menetapkan tarif. Bagian tersulitnya adalah meyakinkan masyarakat (publik) tanpa diluar kesadaran mereka tarif tetap harus diberlakukan.

Berkaitan dengan pendapat di atas, Davey (1988:147), menguraikan bahwa di dalam beberapa hal retribusi mungkin lebih didasarkan pada recovering daripada full cost dari suatu pelayanan, yaitu atas dasar mencari keuntungan. Salah satu dari tiga kasus yang diuraikan yaitu mencari keuntungan di luar para pemakai bis melalui jawatan transportasi, lahan-lahan pada stasiun bis.

F.  Metodologi Penelitian

    1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini langsung dilakukan pada objek penelitian yakni Kantor Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) serta Kantor Kesekretariatan Pemerintah Kota Bukittinggi.

     2.  Data dan Sumber Data

1. Data

     a. Data Primer, yakni data pokok. Pengumpulan data primer dengan cara peninjauan langsung pada  Pemerintah Kota Bukittinggi dalam hal ini melalui Kantor Walikota, Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi dan Kantor LLAJ untuk mendapatkan gambaran data yang dibutuhkan mengenai sistem pemungutan, target dan realisasi penerimaan retribusi terminal dan Pendapatan Asli daerah.

                 b. Data Skunder yakni data tambahan. Yaitu dengan mempelajari buku-buku dan tulisan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Cara ini digunakan untuk mengumpulkan informasi dalam rangka mendapatkan data sekunder.

2. Sumber Data

Data primer diperoleh langsung dari objek penelitian, dari karyawan di Kantor Walikota dan Dipenda Kota Bukittinggi seperti bagian keuangan, bagian administrasi, sedangkan data skunder diperoleh dari laporan-laporan tertulis, buku pedoman serta buku-buku peraturan daerah yang berkenaan dengan objek yang diteliti.

    3. Metode Analisis Data

a. Analisis  Kualitatif.

Analisa ini digunakan untuk membahas data-data yang bersifat kualitatif seperti potensi, efektifitas dan efisiensi penerimaan retribusi terminal terhadap peningkatan PAD serta langkah-langkah yang diambil pemerintah kedepan serta manajemen pengelolaan, pemungutan retribusi terminal dan masalah-masalah yang dihadapi untuk masa yang akan datang.

b. Analisis Kuantitatif

1.  Analisis potensi

Penelitian tentang perhitungan potensi pajak dan retribusi yang dilakukan oleh Mardiasmo dan Makhfatih (2000:5-6), menguraikan beberapa model untuk menghitung efektifitas, efisiensi,  Selanjutnya diuraikan bahwa efektifitas yaitu mengukur hubungan antara hasil pungut pajak atau retribusi dengan potensi pajak atau retribusi. Efisiensi diuraikan sebagai alat untuk mengukur bagian dari pajak atau retribusi yang digunakan untuk menutup biaya pemungutan  retribusi.

Alat analisis yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan Retribusi Terminal dengan menggunakan formula sebagai berikut:

PRT = ( Ã¥ Km x Ã¥ RK x 365) / 12                                                   

Di mana :                                                          

PTT      =   Potensi retribusi terminal

Km       =   Kendaraan yang masuk terminal  rata-rata perhari

Rk        =   Retribusi yang dikenakan                                   

 2. Untuk mengukur pertumbuhan retribusi terminal dapat dihitung  dengan formula laju pertumbuhan, Marisal (1999,46) :

r =

Dimana:

         Xt        = Nilai Realisasi Retribusi terminal Tahun ke t

         Xt - t   = Nilai Realisasi Retribusi terminal Tahun sebelumnya

         r            = Laju Pertumbuhan

3. Untuk mengukur kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah dengan mengunakan rumus :

  N = 100%

  Dimana : N = Besarnya peranan retribusi terminal pada tahun n

                     X = Jumlah realisasi retribusi terminal tahun

                     Y = Pendapatan Asli daerah tahun

4.  Analisis efektifitas (hasil guna)

Analisis ini untuk mengukur hubungan antara realisasi penerimaan retribusi terminal terhadap potensi retribusi terminal. Untuk penelitian ini analisis efektifitas digunakan untuk formulasi sbb :

                          Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

Efektifitas =                                                                        x 100% 

                                      Potensi retribusi Terminal:

 

            Standar ukuran efektif menurut Masrizal dalam bukunya mengenai Manajemen Keuangan Daerah tahun 2008 mengatakan tingkat efektifitas dapat dikategorikan tidak efektif, cukup efektif, efektif dan sangat efektif.

5  Analisis efisiensi (daya guna)

Analisis ini digunakan untuk mengukur bagian dari realisasi penerimaan retribusi terminal yang digunakan. Dalam analisa ini biaya pungut dihitung  sebesar 5% dari realisasi retribusi terminal, sedangkan biaya lainnya diabaikan karena termasuk dalam biaya rutin maka nilai efisiensi akan menjadi lebih besar. Rumus yang digunakan adalah:

                             Biaya Pungut Retribusi Terminal

Efesiensi     =                                                                  x 100%  

                        Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

 

Menurut Masrizal dalam bukunya mengenai Manajemen Keuangan Daerah (2008) efisien dapat dikategorikan pada empat kategori,  sangat efisien, efisien, cukup efisien dan tidak efisien.

Dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan dengan penggunaan alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dari variabel-variabel yang akan dibahas adalah sebagai berikut.

1.      Realisasi penerimaan retribusi terminal selama periode 2004 sampai 2008

2.      Biaya pungut (operasional), yang terdiri atas 5% dari realisasi retribusi terminal (diasumsikan),  selama 2004 sampai 2008

3.      Realisasi penerimaan PAD Kota Bukittinggi dari tahun 2004 sampai 2008.

 

 

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, secara garis besar pembahasan dibagi menjadi lima bab, yaitu:

BAB I       PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang mengurai tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II      LANDASAN TEORI

Pada bab ini penulis mengurai uraian teoritis mengenai Pengertian Efektifitas dan Efisiensi, Pengertian Pendapatan Asli Daerah, Sumber Pendapatan Asli Daerah, Pengertian Pajak dan Pajak Daerah, Jenis-jenis Pajak Daerah, Pengertian dan Dasar Hukum Retribusi terminal, Jenis dan Macam Retribusi, Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kriteria Retribusi terminal dan Potensinya, Subjek Objek dan Wajib Retribusi terminal, dan Manajemen Pemungutan Retribusi terminal.

BAB III       GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan Gambaran Umum Kota Bukittinggi, Perekonomian Kota Bukittinggi, Potensi Unggulan Kota Bukittinggi, Perkembangan Penerimaan PAD Kota Bukittinggi, Jenis-jenis Penerimaan Retribusi terminal, dan Gambaran Umum Dipenda Kota Bukittinggi serta Struktur Organisasi dan Tata Kerja kantor LLAJ  Kota Bukittinggi.

BAB IV       ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SISTEM  PEMUNGUTAN RETRIBUSI TERMINAL TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA BUKITTINGGI.

                     Pada bab ini penulis mengurai tentang Sistem Pemungutan Retribusi terminal, Manajemen Pemungutan Retribusi terminal, Potensi Retribusi terminal, Kontribusi Retribusi terminal terhadap PAD, Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistem Pemungutan Retribusi terminal terhadap PAD Kota Bukittinggi dan Kebijaksanaan dan Upaya untuk meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi Sistem Pemungutan Retribusi terminal.

BAB V        KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini penulis mencoba mengambil suatu kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran yang dapat bermanfaat bagi Dinas Pendapatan Daerah  dan Pemerintah Kota Bukittinggi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

A.    Konsep Pajak dan Retribusi

1.      Pengertian Pajak dan Retribusi

         Dalam kurun waktu setengah abad lebih penyelenggaraan  pemerintahan daerah yang diawali dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 sampai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tidak kurang dari enam buah Undang-undang Pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia. Namun Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diikuti dengan Undang-undang 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, merupakan perwujudan dari Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 tentang penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk mendukung pemerintahan dan pembangunan di daerah, adapun sumber-sumber keuangan daerah di antaranya adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah.

         Penerapan sistem manajemen yang berorientasi efisisensi sebagaimana diungkapkan oleh Cigler (1996), bahwa merupakan suatu hal yang penting dalam era reformasi dan globalisasi sebagai antisipasi akan meningkatnya daya kritis, nuansa kebebasan dan keterbukaan, serta tuntutan akan kenyamanan dan pelayanan yang manusiawi oleh masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa “pendekatan berorientasi efisiensi mencakup metode manajemen yang luas yang bermaksud/bertujuan atau mempunyai sasaran pada peningkatan perbandingan (rasio) antara output dan input suatu organisasi (pemerintah)”.

         Oleh karena itu hal tersebut di atas dapat dikatakan berhubungan dengan analisis efisiensi retribusi (terminal bis dan taksi) yang bertujuan untuk mengetahui besarnya pengeluaran yang diambil dari realisasi penerimaan retribusi terminal yang digunakan untuk menutup biaya pungutan retribusi. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam penelitian tersebut di atas, aplikasi dan argumentasi lebih ditujukan dalam bidang manajemen dan untuk para ilmuwan dan praktisi, sedangkan lingkup analisis penelitian tersebut di atas merupakan cara pelaksanaan bagi badan atau organisasi, diambil dari penelitian terdahulu oleh DiMaggio dan Powell (1983) (lihat Roy dan Seguin 2000:449 ).

         Penelitian lain tentang peran sektor publik dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang dilakukan oleh Kim (1996:155), mengemukakan permasalahan apakah pajak daerah dan belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.  Penelitian ini berkaitan dengan berlakunya otonomi daerah di Korea tahun 1995, menggunakan model Skinner, 1987, sebagai alat analisis utama. Pada bagian berikutnya dikatakan bahwa Pemda harus mengerti mengapa pajak daerah dan belanja daerah mempengaruhi perkembangan ekonomi daerah. Salah satu kesimpulan yang diutarakan yaitu peran Pemda cukup signifikan, tetapi pajak dan pendapatan non-pajak kurang (negatif) pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

a.  Pengertian Pajak 

Undang –Undang Dasar 1945 menempatkan pajak sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan. Ditegaskan bahwa penempatan beban  kepada raknyat. Masing masing pakar memberikan batasan batasan tersendiri tentang apa yang dimaksud dengan pajak, namun satu sama lain hampir memiliki kesamaan.

Pengertian pajak menurut beberapa orang ahli yaitu:

a.       Menurut Prof.Dr.Rachmat Soemitro,SH (1992;20)

Memberikan definisi pajak sebagai berikut,” Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontrapresentasi) yang langsung dapat ditunjukan dan dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

b.      Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1990;38)

“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh petugas berdasarkan Norma-norma hukum guna menutupi biaya produksi dan barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”

c.       Menurut Munawir (1998;45),

“Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara, disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejah teraan umum.

d.      Menurut Mangkoesoebroto (1999;75)

“Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak Prerogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan kepada undang-undang. Pemungutan dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya”.

      Secara umum dapat dipahami bahwa pajak merupakan sebagai suatu kewajiban wajib pajak untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara tanpa mendapatkan prestasi atau jasa balik kembali secara langsung sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diatur dengan undang undang demi kesejahteraan rakyat.

b . Pengertian Pajak Daerah

      Pajak merupakan sumber pendapatan yang paling pokok bagi negara ataupun daerah. Ada beberapa definisi yang diberikan para ahli tentang pajak daerah baik ditinjau dari segi individu atau dari segi pemerintah sebagai pemungutnya.

      Menurut Undang-undang No.34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang pajak daerah . Pasal 1 adalah:

 

 

“Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang berlalu, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”.

               Sedangkan menurut K.Jdavey (1998;39) pajak daerah adalah:

  1. Pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dengan pengaturan dari pemerintahan daerah sendiri

  2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah

  3. Pajak yang ditetapkan dan atau yang dipungut oleh pemerintah daerah

  4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada, dibagikan dengan, atau dibebani pungutan tambahan atau (Opsen) oleh pemerintah daerah.

      Undang-undang No 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah juga menjelaskan dan menetapkan pokok pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arah bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum tentang perpajakan daerah.

      Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas jelaslah bahwa pajak daerah merupakan iuran kepada daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

 

 

c.       Pengertian Retribusi

            Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, diketahui bahwa beberapa atau sebahagian besar Pemda sebelum otonomi daerah belum mengoptimalkan penerimaan dari retribusi karena masih mendapat dana dari Pemerintah Pusat. Sebagai upaya untuk meningkatkan PAD, maka pengelolaan retribusi masih perlu dikaji untuk menentukan besarnya potensi yang riil (wajar), tingkat efektifitas dan efisiensi pemungutan retribusi, khususnya retribusi terminal bis dan taksi, supaya tidak justru sebaliknya, yaitu membebani anggaran daerah.

            Devas, dkk., (1989:46), mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung dari Pemerintah Pusat. Dalam garis besarnya, penerimaan daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya menutup seperlima dari pengeluaran pemerintah daerah. Meskipun banyak pula negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Memang, pemerintah daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” artinya memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat  mengadakan perubahan  di sana  sini  pada tingkat jasa layanan yang disediakan. Untuk itu mungkin sudah mamadai jika 20 % dari pengeluaran berasal dari sumber-sumber daerah. Hal tersebut sejalan dengan uraian oleh McQueen (1998:12-18) bahwa:

Pertimbangan lain dalam meningkatnya retribusi yaitu peran masyarakat (publik) dalam politik. Masyarakat tidak senang terhadap perubahan dan hanya akan toleransi terhadap pembayaran retribusi, bukan semata sebagai sumber utama pendapatan daerah tetapi hanya dana pendamping.

      Retribusi Daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran memakai atau karena memperoleh jasa pelayanan langsung usaha milik daerah untuk kepentingan umum atau karena diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung. Sementara di dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 pasal 1 ayat 24 disebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan sebagai pembayaran pemakaian atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi/badan.menurutGei (1968):78) (lihat Bahrun, 1997:17).

      Oleh karena merupakan pembayaran atas penggunaan barang atau jasa yang disediakan untuk umum oleh pemerintah, maka penarikannya biasanya dilakukan di tempat pemakaian itu, tetapi boleh juga ditagihkan kepada badan/orang pribadi atas dasar pembayaran dengan penggunaan terbatas (dijatahkan) atau pembayaran dengan periode waktu yang disepakati. Retribusi terminal bis dan taksi, dapat dibayarkan berkala langsung ke Dinas Pendapatan Daerah atau ke Kantor LLAJ.

      Hal di atas sejalan dengan uraian oleh McQueen (1998:12-18) tentang permasalahan dan kebijaksanaan pelayanan oleh pemda. Dikatakan pula bahwa persaingan retribusi antar pemda tidak akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan tarif, yang penting yaitu bila ada pemda yang berdekatan mengadakan atau menyediakan barang atau jasa yang sama, maka saling tukar informasi menjadi penting untuk mengurangi resiko kerugian.

      Lebih lanjut diuraikan pula definisi dan pengertian yang berkaitan dengan retribusi yaitu dikutip dari Sproule-Jones and White yang menyatakan bahwa retribusi adalah semua bayaran yang dilakukan bagi perorangan dalam menggunakan layanan yang mendatangkan keuntungan langsung dari layanan itu lebih lanjut dikatakan bahwa retribusi lebih tepat dianggap pajak konsumsi daripada biaya layanan; bahwa retribusi hanya menutupi biaya operasi saja. Pada bagian lain McQueen (1998:2) mengungkapkan bahwa:

      Suatu tanggapan menekankan memperjelas kenyataan bahwa masyarakat memandang retribusi sebagai bagian dari program bukan sebagai pendapatan daerah dan bersedia membayar hanya bila tingkat layanan dirawat dan ditingkatkan.

      Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bagian yang gampang dalam menyusun retribusi yaitu menghitung dan menetapkan tarif. Bagian tersulitnya adalah meyakinkan masyarakat (publik) tanpa diluar kesadaran mereka tarif tetap harus diberlakukan.

      Berkaitan dengan pendapat di atas, Davey (1988:147), menguraikan bahwa di dalam beberapa hal retribusi mungkin lebih didasarkan pada recovering daripada full cost dari suatu pelayanan, yaitu atas dasar mencari keuntungan. Salah satu dari tiga kasus yang diuraikan yaitu mencari keuntungan di luar para pemakai bis melalui jawatan transportasi, lahan-lahan pada stasiun bis, dan lain-lain mungkin sebagian besar merupakan penghukuman golongan miskin.Di dalam beberapa hal retribusi mungkin lebih didasarkan pada recovering daripada full cost dari suatu pelayanan, yaitu atas dasar mencari keuntungan. Setidak-tidaknya ada tiga kasus di mana hal ini bisa terjadi. Pertama, di mana retribusi dikenakan untuk tujuan-tujuan pengaturan yang melibatkan sedikit biaya langsung. Licensing fees atau meteran parkir merupakan contoh.

      Pada bagian akhir, Davey (1988:153) menyimpulkan bahwa penerimaan (retribusi) mungkin jatuh di bawah tingkat yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pelayanan secara efektif, karena keengganan politik untuk meningkatkan tarif atau mengenakan sangsi. Suparmoko (1992:98-99), menguraikan bahwa kemampuan untuk membayar pajak dan retribusi dapat diketahui dengan melihat besarnya pendapatan baik yang berasal dari tenaga kerja maupun yang berasal dari kekayaan dan besarnya pengeluaran si wajib pajak serta pengeluaran konsumsi esensial.

      Musgrave dan Musgrave (1993:238), mengemukakan hal yang sama dengan di atas tentang prinsip dalam pengenaan pajak dan retribusi yang harus dipenuhi antara lain prinsip kemampuan untuk membayar (Ability-to-pay-Principle), yaitu orang-orang yang mempunyai kemampuan yang sama harus membayar pajak dalam jumlah yang sama, sementara orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar lebih besar. Wajib pajak yang memiliki  kemampuan  membayar yang sama dikenai pajak yang sama bebannya (horisontal equity), dan wajib pajak yang kemampuannya berbeda dikenai pajak yang berbeda pula bebannya (vertikal equity).

      Berdasarkan observasi dan pengalaman di lingkungan Pemerintah Kota Bukittinggi, maka diketahui bahwa selama beberapa tahun yang lalu sampai saat ini, penetapan target hanya berdasarkan pada realisasi tahun sebelumnya dengan penambahan kenaikan beberapa persen tanpa melakukan perhitungan sesuai data dilapangan. Langkah ini ditempuh untuk memudahkan pelaksanaan administratif dan memberi alokasi jam dan muatan kerja untuk bidang lainnya. Mengingat letak dan tempat objek pungut (terminal) merupakan satu kesatuan yang sudah pasti (tidak berpindah dan hanya satu tempat), maka pemungutan tidak menggunakan tim lapangan, melainkan setoran dapat langsung ke kantor kas daerah.

2.  Pengertian dan Dasar Hukum Retribusi terminal

     a.  Pengertian Retribusi terminal

Pengertian retribusi terminal berdasarkan peraturan daerah Kota Bukittinggi No. 06 Tahun 2004 dan No. 10 Tahun 2006 dalam butir-butir berikut dikatakan:

a.         Retribusi terminal yang selanjutnya disebut pendapatan adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan terminal.

b.        Penyelenggaraan  pelayanan terminsl adalah perseorangan atau badan hukum yang menyelenggarakan retribusi baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggung jawab.

b. Dasar Hukum Retribusi terminal

a.       Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah / Retribusi Daerah.

b.      Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah

c.       Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 06 Tahun 2004 tentang Retribusi / Sewa Tempat parkir terminal.

d.      Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 10 Tahun 2006 tentang Retribusi terminal.

e.       Peraturan Walikota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2007 tentang Penetapan Nilai retribusi terminal dalam Kota Bukittinggi.

3. Jenis-Jenis Pajak  dan Retribusi

a. Jenis-jenis Pajak       

Menurut Undang-undang No 34 Tahun 2000 Pasal 2 menjelaskan bahwa jenis-jenis pajak daerah adalah sebagai berikut;

1.      Pajak Propinsi

a.       Pajak kendaraan bermotor dan pajak kendaraan diatas air

b.      Bea balik nama kendaran bermotor dan kendaraan diatas air

c.       Pajak bahan bakar kendaraan bermotor

d.      Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan

2.      Pajak Kabupaten / Kota

a.       Pajak Hotel

Pajak atas pelayanan Hotel

b.      Pajak Rumah makan dan resroran

Pajak atas pelayanan rumah makan dan restoran

c.       Pajak Hiburan

Pajak atas penyelenggaran hiburan

d.      Retribusi terminal

Pajak atas penyelenggaran retribusi

e.       Pajak Penerangan Jalan

Pajak atas pengunaan listrik dengan ketentuan bahwa diwilayah tersebut tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

f.       Pajak pengambilan bahan galian golongan C

Pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

g.      Pajak Parkir

Pajak yang dikenakan atas penyelenggaran tempat parkir diluar badan jalan oleh orang pribadi atau badan usaha baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor yang memungut biaya

b. Jenis-jenis retribusi

Menurut Undang-undang No 34 Tahun 2000 Pasal 2 dan peraturan Wali Kota Bukittinggi menjelaskan bahwa jenis-jenis retribusi kota Bukittinggi adalah sebagai berikut :

1.      Retribusi pelayanan kesehatan

a.       Administrasi/ Karcis

b.      PHB/ Askes

c.       Laboratorium

d.      UGD

2.      Retribusi Pelayanan Persampahan

a.       Retribusi kebersihan

b.      Retribusi Pelayanan persampahan pedagang

3.      Retribusi Penggantian biaya cetak

a.       KTP

b.      KK

c.       SKK

d.      Akta Capil

4.       Retribusi karcis Pasar

a.       Pasar atas

b.      Pasar bawah

c.       Pasar Aur Kuning

d.      Pedagang Malam

5.       Retribusi Terminal

6.      Retribusi pemeriksaan Alat pemadam keakaran

7.      Retribusi biaya cetak peta

8.      Retribusi pemakaian kekayaan daerah

9.      Retribusi WC umum

10.  Retribusi IMB

11.  Retribusi Izin trayek kendaraan

 

 

 

 

 

4. Kriteria Retribusi terminal dan Potensinya.

Dasar filosofis pembenaran negara mengatakan pemungutan pajak sebagai pungutan yang mempunyai upaya pemaksaan dalam melaksanakanya berdasarkan pendekatan benefit, adalah bahwa warga negara menciptakan manfaat berupa kesejakteraan, perlindungan, kebebasan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaatnya bagi masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas dapat disumpulkan bahwa pemungutan pajak dan retribusi oleh negara pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, perlindungan, kebebasan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaat bagi seluruh masyarakat.

Menurut Mangkoesoebroto (1999;15) Pajak dan Retribusi yang baik haruslah mempunyai kriteria sebagai berikut:

a.       Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar sesuai dengan bagian yang wajar

b.      Pajak dan retribusi harus sedikit mungkin mencampuri keputusan ekonomi, apabila keputusan-keputusan ekonomi telah mungkin tercapai, beban pajak harus seminimal mungkin

c.       Pajak harus memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi disektor swasta, apa bila instrumen pajak dapat melakukannya

d.      Struktur pajak dan retribusi harus mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi

e.       Sistem pajak dan retribusi harus jelas dan dimengerti.

f.       Administrasi dan biaya pelaksanana pajak dan retribusi harus sedikit mungkin

g.      Kepastian hukum yang jelas

h.      Dapat dilaksanakan

i.        Dapat diterima oleh umum

Potensi pajak dan Retribusi mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan  ekonomi seperti yang dikemungkakan oleh Todaro(1997;36), “Pertumbuhan pajak dan retribusi tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi, potensi peneriman pajak dan retribusi suatu negara tergantung pada tingkat pendapatan perkapita, stuktur perekonomian, distribusi pendapatan, keadaan sosial dan politik .

Pertumbuhan pajak dan retribusi dipengaruhi oleh :

1.      Tingkat pembangunan ( leavel of development)

2.      tingkat keterbukaan ( degree openness)

3.      struktur perekonomian

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pajak dan retribusi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial dan politik, artinya semakin meningkat pertumbuhan ekonomi, semakin membaik kondisi sosial politik semakin baik administrasinya maka pertumbuhan pajak dan retribusi juga akan semakin meningkat.

 

 

 

B.     Konsep Efektifitas dan Efisiensi

1.      Pengertian Efektifitas dan Efisiensi

Konsep efektifitas menurut Siagian (1990;85) adalah pencapaian tujuan suatu usaha dan kegiatan berencana, dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan target yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan yang dimaksud dengan efektifitas mengandung pengertian suatu kegiatan yang dilaksanakan selalu dapat diselesaikan sesuai dengan target yang telah dilaksanakan.

Menurut Emerson (1998;90) efektifitas ialah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya. Jelaslah bila sasaran atau tujuan yang telah dicapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah efektif. Jadi bila sasaran atau tujuan itu tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan, maka pekerjaan itu dikatakan tidak efektif.

Sedangkan menurut Hidayat (1990;67) efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target yang telah dicapai, semakin tinggi atau besar target yang dicapai maka semakin tinggi tingkat efektifitasnya.

Defenisi lain dari efektifitas diungkapkan oleh Siagian (1990;59) efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, dana, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa dengan jumlah mutu tertentu tepat pada waktunya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan bahwa efektifitas merupakan kemampuan optimum pencapaian target yang telah direncanakan baik dari segi hasil suatu usaha maupun ketepatan waktunya. 

Efisien menurut Miratni, Spencer and Spencer (1997;57) efesien merupakan suatu proses untuk memaksimalkan kemampuan atau kompetensi yang ada.

Sedangkan menurut Todaro (1997;87) efisien adalah suatu kerangka yang dijalankan dalam setiap kegiatan dengan melakukan pengorbanan yang sekecil-kecilnya serta memanfaatkan segala potensi yang ada untuk mencapai suatu target tertentu yang diinginkan

Efisiensi mengandung makna bahwa sebenarnya memprediksi sejauh mana pengorbanan yang dilakukan, siapa yang berkinerja baik dan kurang baik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa efesiensi adalah bagian kepribadian yang melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan juga pekerjaan yang dijalankan dengan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran serta modal yang sesuai.

2.      Efektifitas dan Efisiensi Retribusi Terminal

a.      Analisis efektifitas (hasil guna)

Analisis ini untuk mengukur hubungan antara realisasi penerimaan retribusi jasa terminal terhadap potensi retribusi terminal. Untuk penelitian ini analisis efektifitas digunakan untuk formulasi sbb :

              Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

              Efektifitas =                                                                      x 100% 

                                Potensi retribusi Terminal:

 

           

 

            Standar ukuran efektif menurut Masrizal dalam bukunya menenai Manajemen Keuangan Daerah tahun 2008 mengatkan tingkat efektifitas dapat dikategorikan sebagai mana dalam tabel berikut :

NO

SKOR

KRITERIA

1

0% Sampai dengan 25 %

Tidak efektif

2

25 % Sampai dengan 50 %

Cukup efektif

3

50 % Sampai dengan 75%

Efektif

4

75 % Sampai dengan 100%

Sangat efektif

b.        Analisis efisiensi (daya guna)

Analisis ini digunakan untuk mengukur bagian dari realisasi penerimaan retribusi terminal yang digunakan. Dalam analisa ini biaya pungut dihitung  sebesar 5% dari target retribusi termial, sedangkan biaya lainnya diabaikan karena termasuk dalam biaya rutin maka nilai efisiensi akan menjadi lebih besar. Rumus yang digunakan adalah:

 

                Biaya Pungut Retribusi Terminal

Efesiensi    =                                                                  x 100%  

            Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

 

Menurut Masrizal dalam bukunya mengenai Manajemen Keuangan Daerah (2008) efisien dapat dikategorikan pada empat kategori seperti pada tabel berikut:

 

 

NO

SKOR

KRITERIA

1

0% Sampai dengan 25 %

Sangat Efisien

2

25 % Sampai dengan 50 %

Efisien

3

50 % Sampai dengan 75%

Cukup Efisien

4

75 % Sampai dengan 100%

Tidak Efisien

 

3.      Konsep Pendapatan Asli Daerah

            Dalam Pasal 79 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa sumber-sumber pendapatan untuk membiayai APBD terdiri atas:

1.        Pendapatan Asli Daerah, terdiri dari:

a.         Hasil Pajak Daerah;

b.        Hasil Retribusi Daerah;

c.         Hasil Perusahaan Daerah, Pengelolaan kekayaan Daerah yang  dipisahkan;

d.        Dan Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah. 

2.        Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

a.         Bagi hasil (bagian daerah) dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.

b.        Dana Alokasi Umum.

c.         Dana Alokasi Khusus.

3.        Pinjaman Daerah.

4.        Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

 

      Saragih, (1996:37-38),  mengatakan bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran pembangunan nasional. Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan potensi, aspirasi dan permasalahan pembangunan di berbagai daerah sesuai program pembangunan daerah yang dicanangkan pemerintah dalam repelita VI. Keseluruhan program pembangunan daerah tersebut dijabarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Di samping itu kunci sukses dalam pencapaian sasaran pembangunan daerah secara efisien dan efektif. Konsentrasi pemerintah dalam meningkatkan pembangunan daerah adalah sejalan dengan semangat otonomi daerah dan pelaksanaan  desentralisasi.

      Keterbatasan dana pusat bagi pembangunan daerah memerlukan strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tiap-tiap daerah. Strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan daerah bagi peningkatan pendapatan asli daerah adalah pertama, strategi yang berkaitan dengan manajemen pajak/retribusi daerah; kedua, strategi ekstensifikasi sumber penerimaan daerah; ketiga, strategi dalam rangka peningkatan efisiensi institusi.

      Widayat (1994:32), menguraikan beberapa cara untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui peningkatan penerimaan semua sumber PAD agar mendekati atau bahkan sama dengan penerimaan potensialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa secara umum ada dua cara untuk mengupayakan peningkatan PAD sehingga maksimal, yaitu dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa salah satu wujud nyata dari kegiatan intensifikasi ini untuk retribusi yaitu menghitung potensi seakurat mungkin, maka target penerimaan bisa mendekati potensinya.  Cara ekstensifikasi dilakukan dengan mengadakan penggalian sumber-sumber obyek retribusi atau pajak ataupun dengan  menjaring wajib pajak baru. Sehubungan dengan hal tersebut, Mardiasmo dan Makhfatih (2000:8) telah pula menguraikan bahwa:

“potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada disuatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel-variabel ‘yang dapat dikendalikan’ (yaitu variabel-variabel kebijakan dan kelembagaan), dan ‘yang tidak dapat dikendalikan’ (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah”.

 

      Berkaitan dengan pendapat di atas, Alisjahbana (2000:7), dalam penelitiannya mengungkapkan pentingnnya desentalisasi fiskal dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Pada bagian lain dikemukakan tentang upaya daerah untuk meningkatkan PAD, dikatakan bahwa: “Two measures widely used to indicate local tax or revenue efforts are: (i) index of tax gap, and (ii) ratio of local own revenue (PAD) to non-oil and gas GRDP. Both measures try to capture the extent of the gap between local tax or revenue potential with its effort”. Penjelasan tentang index of tax gap oleh Alisjahbana (2000:8) disebutkan bahwa: (hal. 10)

 

 

 

“In order to assess alternative local government own revenue mobilization, indicators of its potentials are presented in the form of ‘Index of Tax Gap’ and own revenue to GRDP ratio at the district level. Several issues based on draft revision Law 18/1997 are discussed followed by measures in mobilizing local govenrment own revenue from existing local taxes, and the feasibility and potential of new local own revenues”.

 

      Selain perbandingan antara PAD dan PDRB, juga disebutkan bahwa untuk mengetahui kemungkinan peningkatan PAD maka dapat ditetapkan suatu indikator yang disebut sebagai “Index of Tax Gap” yang ditentukan dari perbandingan antara realisasi dan target atau dikatakan sebagai “The ratio of actual revenue to the predicted or ‘potential’ revenue is called index of tax gap”, besarnya indeks yaitu satu dikurangi hasil pembagian antara realisasi dan target. Pada bagian ini pula diuraikan hasil dari penelitian ini sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu (hal. 11)

a.       Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah merupakan indikator untuk memenuhi tingkat kemandirian pemerintahan dibidang keuangan. Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah  dalam pasal 3 memberikan pengertian sebagai berikut: (Undang-undang otonomi daerah). Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber sumber yang ada di wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

Untuk memenuhi kebutuhan terhadap keuangan tersebut, maka daerah perlu mempunyai pendapatan yang jelas agar terdapat kesinambungan kehidupan organisasi/pemerintahan tersebut. Pemerintahan daerah sebagai penyelenggara pemerintahan hendaknya mencari sebanyak mungkin pendapatan atau penerimaan dengan menggali berbagai sumber pendapatan  sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah ( Keuangan Negara, 2000, hal 14 ).

Pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri, tanpa adanya bantuan dari pemerintah pusat.

Karena daerah adalah bagian dari negara, maka pendapatan daerah dapat diidentikkan dengan pendapatan suatu negara. Untuk itu batasan pendapatan daerah dapat disebut sebagai penerimaan atau pemasukan suatu daearah dari berbagai sumber guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah yang bersangkutan. Untuk mendukung penyeleggaraan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab didaerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan. Untuk itu  pemerintah daerah dituntut untuk menetapkan, mengelola PAD..

b.       Sumber Pendapatan Asli Daerah

Setiap daerah mempunyai sumber penerimaan, dimana dana tersebut akan digunakan untuk melaksanakan pemerintahan daerah atau digunakan untuk menunjang kegiatan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan nasional umumnya. Karena pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah.

Secara umum, pajak daerah dapat dikatakaan sebagai sumber penerimaan pendapatan asli daerah yang dapat diandalkan karena penerimaannya selalu mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Selain itu pajak lebih menguntungkan bagi pemerintah karena pajak mempunyai unsur paksaan yang bersifat yuridis dan ekonomis. Uang hasil pungutan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran yang bersifat umum.   Untuk meningkatkan penerimaan retribusi maka pemerintahan daerah harus meningkatkan fasilitas daan pelayanan/jasa. Uang hasil retribusi digunakan untuk pemeliharaan, peningkatan fasilitas dan jasa pelayanan oleh pemerintah. Sedangkan untuk meningkatkan penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainya yang dipisahkan, maka diperlukan investasi yang cukup besar dan manajemen pengelolaan yang baik terhadap perusahaan daerah

4. Hubugan Antara Efektifitas dan Efisiensi Retribusi Terminal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dalam Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa tujuan negara Indonesia adalah mewujudkan masyarakat adil dam makmur dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, yang semenjak awal tahun 2001 dilakukan secara serentak otonomi daerah yang titik beratnya kepada daerah Tingkat II. Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri secara propesional yang diwujudkan dengan pengaturan  dan pemanfatan sumber daya yang ada yang dimiliki oleh daerah tersebut.

Untuk menjaga keseimbangan pelaksanaan pembangunan didaerah, karena daerah belum mampu membiayai sendiri pemerintahannya maka dikeluarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 untuk mengatur Perimbangan antara Keuangan Pusat dan Daerah, Perimbangan tersebut terdiri dari:

a.       Bagian daerah dari penerimaan pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam

b.      Dana Alokasi Umum (DAU)

c.       Dana Alokasi Khusus (DAK)

 

Untuk pelaksanaan Perimbangan antara keuangan pusat dan daerah selama ini mengacu kepada UU No 32 Tahun 1956, dimana perimbangan keuangan yang berasal dari sumber daya alam diserahkan kepada pemerintahan pusat, sedangkan penerimaan dari pengolahan kekayaan tersebut dibagikan kepada daerah berdasarkan Undang- Undang.

Bagi setiap organisasi, penilaian terhadap kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting karena penilaian tersebut dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat dijadikan input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja organisasi yang bersangkutan.

Menurut Setiawan (1988:9) “Kinerja berhubungan dengan penilaian atas kualitas pengelolaan dan kualitas pelaksanaan tugas atau operasi perusahaan. Aspek lain adalah hubungan organisasi dengan lingkungan sosial dan lingkungan politiknya”.

Dalam menilai efektifitas dan efisiensi retribusi terminal serta hubungannya dengan PAD harus dikembalikan kepada apa alasan dan tujuan dari dibentuknya organisasi pengelola tersebut dimana dalam hal ini adalah Kantor LLAJ. Bagi organisasi privat yang tujuan pembentukannya adalah produksi pelayanan/jasa untuk mendapatkan pendapatan retribusi terminal misalnya, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar ia mampu berproduksi  (productivity) atau seberapa besar keuntungan yang berhasil diraih (economy). Sedangkan dalam organisasi publik sendiri masih sulit menemukan indikator yang sesuai untuk mengukur kinerja apakah pelaksanaan pemungutan retribusi terminal serta hubungannya dengan pendapatan asli daerah (PAD) sudah efektif atau efisien (Fynn, 1986; Jackson and Palmer, 1992 dalam Bryson, 1995).

Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik (Dwiyanto, 1995) maka kinerja organisasi publik itu baru dapat dikatakan berhasil apabila mampu dalam mewujudkan tujuan dan misinya.

Levine dkk dalam Dwiyanto (1995) mengemukakan 3 konsep yang dapat dijadikan sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi public dimana dalam hal ini adalah Kantor LLAJ, yaitu :

a.          Responsivitas (responsiveness), mengacu kepda keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerja organisasi tersebut semakin baik.

b.         Responsibilitas (responsibility), menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit maupun yang eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijaksanaan organisasi  maka kinerjanya dinilai semakin baik.

c.          Akuntabilitas (accountability), mengacu kepada seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat.

Kinerja berhubungan dengan :

Pertama, aspek-aspek input atau sumber-sumber dayanya (resources), antara lain seperti

1.      pegawai (SDM);

2.      anggaran;

3.      sarana dan prasarana;

4.      informasi; dan

5.      budaya organisasi.

            Kedua berkaitan dengan proses manajemen :

1.      perencanaan;

2.      pengorganisasian;

3.      pelaksanaan;

4.      penganggaran;

5.      pengawasan;

6.      evaluasi.

Di samping faktor internal tersebut, perlu juga diperhatikan aspek-aspek lingkungan eksternal yang secara langsung maupun tidak ikut mempengaruhi kinerja, seperti kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi, juga pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan input, misalnya wajib pajak, para pembuat kebijakan, dan sebagainya.

Setiap aspek di atas memiliki potensi yang sama untuk muncul sebagai faktor dominan yang mempengaruhi kinerja organisasi, baik yang berpengaruh secara positif maupun negatif. Selanjutnya untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi berdasarkan mandat dan misi organisasi serta faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang dihadapi oleh organisasi, kita memerlukan suatu manajemen strategis, untuk merumuskan strategi dalam rangka mengelola isu-isu strategis tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

GAMBARAN UMUM

 

A. Gambaran Umum Kota Bukittinggi

Kota Bukittinggi yang lazim disebut “Kota Jam Gadang“ dan “Kota Wisata “ ini mempunyai letak yang strategis dan mempunyai hawa yang sejuk, karena terletak disalah satu puncak Bukit Barisan.

Posisi Kota Bukittinggi terletak antara  1000 20-1000 25 BT dan 000 16-  000200 LS, sekitar 780–950 meter ketinggian diatas permukaan laut, dan memiliki luas daerah lebih kurang 25,239 Km2. Luas daerah tersebut merupakan 0,06 persen dari luas daerah Propinsi Sumatera Barat.  Kota Bukittinggi sebelah Utara berbatasan dengan Nagari Gadut dan Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Sebelah Selatan berbatasan dengan Nagari Banuhampu Kecamatan Banuhampu Sungai Puar Kabupaten Agam. Sebelah Barat berbatasan dengan Ngarai Sianok Guguak dan Koto Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam. Sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Tanjuang Alam, Ampang Gadang Kecamatan IV Angkek Canduang Kabupaten Agam.

Iklim, Temperatur udara Kota Bukittinggi Berkisar Maksimum 24,90C dan Minimum 16,10C. Dengan kelembaban udara berkisar antara Maksimum 90,8% dan Minimum 82,0%  serta dengan tekanan udara berkisar antara 22C–25C.

 

Kondisi alam Kota Bukittinggi merupakan dataran tinggi yang sebahagian besar adalah daerah pemukiman penduduk dan pasar. Sedangkan luas daerah yang dimanfaatkan untuk pertaninan sedikit sekali. Sedangkan lokasi pasar yang begitu luas terdapat di Kecamatan Guguak Panjang yaitu Pasar Aur Kuning, Pasar Atas dan Pasar bawah.

Secara administratif Pemerintahan Kota Bukittinggi terdiri dari tiga Kecamatan dan dua puluh empat kelurahan. Gambaran masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut:

1.      Kecamatan Guguk Panjang dengan luas 6.831 km2, dengan jumlah penduduk sebanyak 38.070 jiwa  dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi, sekitar  lebuh kurang 3.512 jiwa/ km2. Terdiri dari 7 kelurahan. Kecamatan Guguk Panjang merupakan pusat kegiatan Kota (Perdagangan, Jasa, Pemerintahan, perhotelan, pendidikan dan kesehatan ) yang diiringi dengan pusat-pusat pemukiman.

2.      Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh, dengan luas daerah 6.252 km, dengan jumlah penduduk 18.640 jiwa. Dengan kepadatan penduduk sekitar 2.982 jiwa/km2. Sebahagian besar digunakan untuk sektor pertanian dan pemukiman.

3.      Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, dengan luas daerah 12.185 km2, dengan jumlah penduduk 31.941 jiwa. Sebahagian besar penggunaan lahan untuk pertanian dan pemukiman.

 

 

B. Perekonomian Kota Bukittinggi

Kota Bukittinggi merupakan daerah yang mempunyai karakteristik perekonomian yang berbeda dengan daerah lainnya yang ada di Sumatera Barat. Sesuai dengan rencana pembangunan kota, dimana visi Pemerintahan Kota Bukittinggi adalah “tewujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi unggulan daerah yang dijiwai oleh agama dan adat, syarak mangato adat mamakai” potensi unggulan daerah Kota Bukittinggi itu  adalah:

1.      Kepariwisataan

2.      Jasa dan perdagangan

3.      Pendidikan

4.      Pelayanan kesehatan

Dengan kata lain keempat sektor tersebut merupakan sektor dominan penyumbang terbesar diatas 10% terhadap pendapatan daerah Kota Bukittinggi. Sedangkan sektor-sektor lainnya yang ada merupakan penyumbang dibawah 10% terhadap pendapatan asli daerah. Sektor-sektor yang ada tersebut dikelola oleh masing-masing dinas yang ada di Pemerintahan Kota Bukittingi. Dimana hasil dari pengelolaan sektor- sektor tersebut nantinya akan dijadikan sebagai masukan terhadap Pendapatan Asli Daerah, dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Kota Bukittinggi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perekonomian Kota Bukittinggi bertumpu kepada empat sektor utama yang dikelola oleh masing-masing dinas yang ada dijajaran Pemerintahan Kota Bukittinggi. Empat sektor utama itu yaitu:

1.      Sektor Jasa-jasa

2.      Sektor Angkutan dan Komunikasi

3.      Sektor Industri Pengolahan

4.      Sektor Perdagangan Hotel dan Restauran

Dimana diharapkan untuk tahun-tahun kedepan sector-sektor tersebut tetap menjadi penyumbang terbesar terhadap perekonomian kota Bukittinggi. Namun demikian sektor-sektor lain diharapkan juga menjadi penyumbang terbesar terhadap perekonomian Kota Bukitinggi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator guna menyusun rencana pembangunan dimasa yang akan datang.

Selain dari pada itu diharapkan juga dinas-dinas yang ada sebagai pengelola dan sebagai pengatur daripada sektor-sektor yang ada tersebut sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing mampu mengelola dengan baik sektor-sektor penyumbang terhadap perekonomian serta ekxis dalam melakukan riseach untuk kemajuan dimasa masa yang akan datang supaya nantinya Kota Bukittinggi lebih maju lagi dari tahun sekarang. Dan juga diharapkan kepada seluruh pihak-pihak terkait juga berperan aktif dalam meningkatkan perekonomian Kota Bukittinggi upaya masyarakat menjadi makmur lahir dan bathin tanpa kekurangan

 

 

 

 

C.    Potensi Unggulan Kota Bukittinggi

Semenjak pelakanaan otonomi daerah tahun 2001 dimana Kota Bukittinggi telah menetapkan visi dan misi selama lima tahun kedepan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan strategis tahun 2001-2005. Visi Kota Bukittinggi yaitu “Terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui  pemanfaatan potensi unggulan daerah, yang dijiwai oleh agama dan adat, syarak mangato adaik mamakai “

Untuk mewujudkan visi tersebut kota Bukittinggi menetapkan  empat buah misi yakni:

1.      Mewujudkan masyarakat yang berbudaya dan beradat berdasarkan  iman dan taqwa

2.      Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang professional dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik

3.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang mendukung potensi unggulan kota

4.      Meningkatkan produk domestik bruto.

Visi dan misi tersebut akan terwujud dengan menggali dan memanfaatkan secara optimal potensi daerah sesuai dengan fungsi kota yakni :

1.      Bukittinggi sebagai kota perdagangan dan jasa, dimana di Bukittinggi terdapat 4 buah pasar yaitu; pasar atas, pasar bawah, pasar simpang aur kuning serta pasar banto. Keempat pasar tersebut sangat berperan sekali dalam perdagangan dan jasa yang berskala regional. Pasar yang ada tersebut juga berperan sebagai perdagangan skala nasional untuk wilayah sumatera yaitu pasar aur kuning yang menjanjikan untuk menghasilkan pendapatan yang banyak bagi Kota Bukitinggi dimasa yang akan datang kalau dikelola dengan baik.

2.      Bukittinggi sebagai kota wisata, Kota Bukittinggi memiliki daerah yang terletak didaerah yang unik yang tidak dimiliki oleh daerah lain . Daerah Bukittinggi dilatar belakangi oleh dua buah gunung yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Merapi serta Gunung Sago yang dikenal dengan Triarga. Bukittinggi juga memiliki ngarai yang indah serta panorama alam yang menjanjikan untuk dapat dikembangkan menjadi objek wisata dimasa yang akan datang, Bukittinggi juga dapat digunakan sebagai tempat beristirahat bagi para wisata yang ingin berlibur di kota ini. Di Kota Bukittinggi juga terdapat objek wisata sejarah dan budaya yang dapat dibanggakan ke wisata yang datang berkunjung. Selain objek wisata yang ada di kota ini juga ada objek wisata daerah lain yang dekat yang dapat dijangkau dari kota ini. Bukittinggi juga dikenal sebagai daerah Home Base Wisatawan di Sumatra Barat. Untuk menunjang Kota Bukittinggi sebagai Kota tujuan wisata maka telah dilengkapi dengan berbagai sarana  dan prasarana pendukung.

3.      Bukittinggi sebagai Kota Pendidikan, mengutamakan pada pelayanan pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Pendidikan non formal yang berorientasi kepada dunia usaha dan industri. Jangkauan pelayanan pendidikan tidak hanya untuk masyarakat Bukittinggi tetapi juga untuk masyarakat luar Bukittinggi seperti Sumatera Barat khususnya, Riau, Sumatera Utara, Jambi pada umumnya.

4.      Bukittinggi sebagai pusat pelayanan kesehatan, mengupayakan pelayanan kesehatan rujukan dan pelayanan kesehatan khususnya, dengan jangkauan pelayanan 15% untuk Kota Bukitinggi 67% untuk masyarakat sumatera Barat, 17,5% untuk masyarakat Luar Sumatera Barat meliputi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara bagian selatan. Sebagai tempat peristirahatan Bukittinggi didukung oleh kondisi alam yang sejuk yang sangat baik untuk memulihkan kesehatan serta memiliki udara yang sejuk, iklim yang bagus, udara yang segar bebas polusi. Dalam memberikan pelayanan kesehatan Kota Bukittinggi  menyediakan 5 buah rumah sakit yang senangtiasa mengupayakan pelayanan prima kepada pasiennya.

D. Perkembangan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi

Sedangkan untuk menggali potensi pendapatan asli daerah Kota Bukittinggi, maka setiap tahun target penerimaan selalu mengalami perobahan yakni dengan cara meningkatkan target dari tahun sebelumnya yang berdasarkan perhitungan potensi yang dilakukan setiap tahunnya, sehingga dilakukan pemungutan terhadap seluruh sumber pendapatan seintensif mungkin oleh masing masing dinas. Dari hasil temuan dilapangan diperoleh data tentang Penerimaan Asli Daerah Kota Bukittinggi semenjak tahun 2002- 2006, seperi tabel berikut:

Table III.1

Jumlah Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah

Kota Bukittingi Tahun 2004 – 2008

Tahun

Target

Realisasi

2004

2005

2006

2007

2008

22.468.280.538

21.933.718.510

28.548.413.600

26.219.038.639

27.690.611.668

17.301.783.013

18.593.821.880

23.350.123.812

27.826.050.436

34.573.561.291

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi

 

Dari tabel III.1 dapat di gambarkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi selama lima tahun terakhir serta persentase pertumbuhan pertahun. Tahun 2004 target sebesar  Rp. 22.468.280.538  dengan realisasi   sebesar  Rp.17.301.783.013 dengan persentase 77,02 %. Tahun 2005 target sebesar  Rp.21.933.718.510 . dengan realisasi   sebesar  Rp.18.593.812.880,- dengan persentase 84,77 %. Tahun 2006 dengan target sebesar  Rp. 28.548.413.600 ,- dengan persentase 87,96 %. Untuk tahun 2007 realisasi   sebesar  Rp. 27.826.050.436 ,- dengan persentase 106,14 % sedangkan pada tahun 2008  realisasi   sebesar  Rp. 34.573.561.291,- dengan persentase pertumbuhan sebesar 124,86 %.

Dari uraian diatas dapat dilihat persentase penerimaan Pendapatam Asli Daerah Kota Bukittinggi selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan baik dari segi target yang ditetapkan maupun realisasi penerimaan. Hal ini terjadi karena Kota Bukittinggi merupakan Kota Perdagangan , Kota Wisata, Kota Pendidikan serta Kota Kesehatan wisatawa local maupun asing dan akan mendapatkan  pendapatan yang akan mengalir dari Retribusi terminal tersebut

E. Perkembangan Penerimaan Retribusi Terminal Kota Bukittinggi

Sedangkan untuk menggali potensi peneriman retribusi terminal terhadap pendapatan asli daerah Kota Bukittinggi, maka setiap tahun target penerimaan selalu mengalami perobahan yakni dengan cara meningkatkan target dari tahun sebelumnya yang berdasarkan perhitungan potensi yang dilakukan setiap tahunnya, sehingga dilakukan pemungutan terhadap seluruh sumber pendapatan seintensif mungkin oleh masing masing petugas dibagian seksi terminal dan perparkiran . Dari hasil temuan dilapangan diperoleh data tentang Penerimaan retribusi terminal  Kota Bukittinggi semenjak tahun 2004- 2008, seperi tabel berikut:

Table III.2

Jumlah Target dan Realisasi Retribusi Terminal

Kota Bukittingi Tahun 2004 – 2008

Tahun

Target

Realisasi

2004

2005

2006

2007

2008

864.762.000

907.200.000

818.390.000

414.117.500

401.912.500

805.158.400

781.317.100

747.471.000

363.088.000

397.955.600

Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi

 

Dari tabel III.2 dapat di gambarkan target serta realisasi penerimaan retribusi terminal Kota Bukittinggi selama lima tahun terakhir. Tahun 2004 target sebesar  Rp. 864.762.000  dengan realisasi   sebesar  Rp.805.158.400. Tahun 2005 target sebesar  Rp.907.200.000 . dengan realisasi   sebesar  Rp.781.317.100,- . Tahun 2006 dengan target sebesar  Rp. 818.390.000 ,- Untuk tahun 2007 realisasi   sebesar  Rp. 363.088.000 ,-  sedangkan pada tahun 2008  realisasi   sebesar  Rp. 397.955.600,-

Dari uraian diatas dapat dilihat persentase penerimaan retribusi terminal kota Bukittinggi selama lima tahun terakhir mengalami penurunan baik dari segi target yang ditetapkan maupun realisasi penerimaan. Hal ini terjadi karena keadaan ekonomi Negara Indonesia Umumnya dan Kota Bukittinggi pada khususnya  maka dari itu Kota Bukittinggi yang merupakan Kota Perdagangan , Kota Wisata, Kota Pendidikan serta Kota Kesehatan wisatawa lokal maupun asing dan supaya gencar melakukan koreksi dan analisa untuk  mendaptakan  pendapatan yang akan mengalir dari Retribusi terminal tersebut Walaupun pada kenyataanya target yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi 100 % apakah yang menjadi penyebab dari semua ini?.

F. Jumlah Rata-rata Kendaraan yang Masuk Terminal Perhari

Sistem pemerintahan daerah yang baik yakni dengan terciptanya pemerintah daerah yang efisien, efektif, transparan, akuntabel dan responsip secara berkesinambungan senantiasa menjadi dambaan bagi setiap daerah di tanah air, begitu juga halnya dengan sitem pemungutan retribusi terminal. Syarat pemungutan  yang baik seperti diuraikan di atas diperlukan sebagai alat untuk melaksanakan berbagai pelayanan publik di daerah, juga sebagai alat bagi masyarakat untuk dapat berperan secara aktif dalam menentukan arah hidupnya sendiri selaras dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dan tetap menjunjung dan mendukung kepentingan pembangunan daerah. Sejalan dengan itu bagi pengendara yang kendaraan, pelayanan pemungutan retribusi yang baik akan berdampak terhadap loyal atau tidaknya mereke membayar. Untuk itu dapat kita gambarkan rata-rata jumlah kendaraan serta tarif retribusi yang dikenakan setiap harinya pada tabel berikut ini :

Tabel III.3

Jenis dan Jumlah Kendaraan serta Tarif Retribusi Teriminal Perhari

 

NO

JENIS

KENARAAN

JUMLAH RATA-RATA

TARIF RETRIBUSI (Rp)

JUMLAH (Rp)

1

AKAP

120

2.000

240.000

2

AKDP BESAR

87

2.000

160.000

3

AKDP SEDANG

105

1.500

157.500

4

AKDP KECIL

218

1.000

218.000

5

TAKSI

65

1.000

 65.000

6

TRUK

125

3.000

375.000

8

ANGKOT

300

  500

150.000

7

ANGDES

350

 500

175.000

Jumlah

1.370

11.500

1.540.500

 Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi Bulan Desember 2008

 

G.Gambaran Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bukittinggi

Berdasarkan Keputusan Wali Kota Bukittinggi Tahun 2002 poin a tentang pembentukan kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  perlu diatur  tugas pokok dan fungsinya yang merupakan unsur Pemerintah Kota Bukittinggi, yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Kantor Lalu Lintas dan Anggkutan Jalan  mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana tersebut dalam surat keputusan tersebut, mempunyai fungsi pokok yaitu:an  Lalu Lintas dan Angkutane

 

 

1.      merumuskan kebijaksanaan teknis dalam bidang oprasional angkutan jalan.

2.      pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum dibidang angkutan jalan.

3.      pembinaan terhadap unit pelaksana teknis dalam bidang anggkutan jalan

4.      pengelolaan urusan ketatausahaan dinas.

Walaupun pada prinsipnya pelaksanaan pengelolaan retribusi ini telah menjadi bidang tugas pokok Kantor LLAJ, akan tetapi dalam pelaksanaannya ada beberapa jenis retribusi daerah yang pemungutannya diserahkan kepada dinas dan instansi lain. Ketentuan penyerahan tugas pemungutan retribusi terminal  termaksud ditetapkan secara lugas dalam masing-masing Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Dengan adanya kebijaksaan penyerahan tugas pemungutan beberapa jenis retribusi kepada dinas atau instansi lain, bukan berarti  LLAJ tidak lagi mempunyai tanggung jawab atas pengelolaan retribusi dan pajak-pajak daerah tersebut. Kantor LLAJ tetap berkewajiban membina dan memonitor perkembangan koordinasi terhadap segala usaha dibidang pendapatan/perpajakan daerah.

Kemudian dalam hal ini pelakanaan dibidang pengelolaan pendapatan daerah, ditegaskan bahwa Kantor LLAJ merupakan coordinator pemungutan retribusi terminal

 

H. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan   Kota Bukittinggi.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 1 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah yang merupakan pedoman bagi Kantor LLAJ dalam melaksanakan tugasnya. Susunan organisasi Kantor LLAJ Kota Bukittinggi terdiri dari:

1.      Kepala Kantor

2.      Sub Bagian Tata Usaha

3.      Seksi Teknik Sarana dan Prasarana

4.      Seksi Angkutan

5.      Seksi Lalu Lintas

6.      Seksi Pengendalian dan Operasional

Adapun fungsi dan tugas masing-masing dinas tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Kepala Kantor

Kepala Kantor mempunyai tugas membantu Walikota dalam melaksanakan tugasnya dibidang lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi perencanaan dan perumusan kebijakan dalam rangka melaksanakan tugas Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2.      Sub Bagian Tata Usaha

Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan koordinasi, penyusunan program, pengelolaan urusan keuangan, kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, hubungan masyarakat dan surat menyurat dinas serta pembuatan laporan

3.      Seksi Teknik Sarana dan Prasarana

Seksi Teknik Sarana dan Prasarana mempunyai tugas melaksanakan menyusunan rencana, pembinaan teknis pemungutan, pemantauan, penggalian dan peningkatan pengajuan kendaraan bermotor, melakukan pengendalian kelayakan uji kendaraan dan pemeliharaan alat-alat

4.      Seksi Angkutan

Bagian ini mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pembinaan manajemen lalu lintas jalan kota dan jalan propinsi, penertiban dibidang lalu lintas, penanggulangan kecelakaan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku

5.      Seksi Pengendalian Operasional

Mempunyai tugas menyiapkan manajemen pelaksanaan penertiban jalan, melaksanakan pemantauan hambatan kemacetan lalu lintas di kota Bukittinggi

6.      Seksi Terminal dan Parkir

Menyiapkan manajemen dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan lokasi terminal, halte dan tempat parkir, pengendalian kendaraan keluar masuk terminal, pengendalian ketertiban tempat parkir

 

 

 

 

 

Gambar III.1

Struktur Organisasi Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)

 Kota Bukittinggi Berdasarkan  Keputusan Walikota Bukittinggi

 N0.188.45-15-2002 dan No.16 Tahun 2002









 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SISTEM PEMUNGUTAN RETRIBUSI TERMINAL PADA KANTOR LLAJ

KOTA BUKITTINGGI

 

Pada dasarnya semua pekerjaan yang akan dikerjakan supaya menuai hasil sesuai dengan yang diharapkan tidak terlepas dari perencanaan yang matang dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta sesuai dengan manajemen yang digariskan oleh pakar ekonomi. Begitu juga dalam pemungutan retribusi terminal. Dimana dalam hal ini Pemerintah Kota Bukittinggi melakukan sistem pemungutan retribusi terminal sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku di Lingkungan Pemerintah Kota Bukittinggi.

A. Manajemen Penerimaan Pendapatan Daerah

Pemerintah daerah dalam mengelola keuangan sama halnya dengan organisasi lainnya seperti perusahaan. Pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan juga membutuhkan manajeman yang transparan serta dapat diterima oleh masyarakat banyak karena pemerintah bertugas sebagai pelayan masyarakat yang akan memberikan kontribusi terhadap pelayanan yang dilakukan.

Adapun manajemen penerimaan pendapatan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah Daerah Kota Bukittinggi yaitu :

 

 

1.      Perencanaan

Perencanaan merupakan suatu proses cara-cara dan langkah-langkah yang digunakan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi dengan optimal dalam jangka waktu tertentu.

2.      Pengorganisasian

Pengorganisaian merupakan suatu kegiatan untuk menyusun berbagai kegiatan kedalam suatu kesatuan yang saling berhubungan erat dan merupakan suatu system dan siklus yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran Pendapatan Asli Daerah.

3.      Staffing

Staffing merupakan suatu jenis kegiatan untuk mendapatkan personil sesuai dengan kemampuan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki di dalam suatu struktur organisasi, sehingga tujuan dan sasaran dapat tercapai secara optimal, ekonomis, efektif dan efisien.

4.      Directing

Directing merupakan suatu kegiatan untuk memberikan petunjuk, arahan dan bimbingan dan pembinaan kepada bawahan sehingga pelaksanaan tugas dapat berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

 

5.      Coordinating

Coordinating merupakan suatu proses atau kegiatan koordinasi dan konsultasi yang dilakukan dengan badan, kantor dan dinas instansi terkait, baik bersifat struktural maupun fungsional dalam rangka mewujudkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi dengan tepat waktu, ekonomis, efektif dan efisien.

6.      Reporting

Reporting adalah merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk membuat laporan kegiatan termasuk penentuan target dan realisasi pendapatan daerah baik harian, mingguan, bulanan serta pendapatan tahunan.

7.      Budgetting

Budgetting merupakan suatu kegiatan untuk menentukan besarnya budget atau anggaran yang dapat direalisasikan dan besarnya dana anggaran baik untuk kegiatan rutin maupun pembangunan dengan memperhatikan program dan kegiatan yang sangat strategis.

B. Manajemen Pemungutan Retribusi terminal

Manajemen pemungutan pajak merupakan salah satu syarat dalam memperoleh sumber pendapatan atau penerimaan daerah. Dari penerimaan daerah tersebut yang sebagiannya digunakan untuk menyelenggarakan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan yang diatur dengan undang-undang demi kesejahteraan rakyat.

Secara umum yang dimaksud manajemen pungutan adalah suatu kegiatan sistem yang dilakukan oleh daerah sebagai pelayan masyarakat alam hal ini pemerintah untuk memungut pembayaran atas jasa atau pemberian izin pemasangan retribusi dengan tempat-tempat yang disediakan dan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Godhart (1990;59) yang dimaksud manajemen pemungutan adalah suatu cara atau sistem yang digunakan untuk melaksanakan pemungutan/penerimaan yang diperoleh atas penguasaan publik dari rumah tangga swasta, berdasarkan norma-norma yang ditetapkan, berhubungan dengan prestasi-prestasi yang diselenggarakan berdasarkan atas usul dan kepentingan rumah tangga swasta dan prestasi tersebut karena berhubungan dengan kepentingan umum, secara khusus dilaksanakan sendiri oleh penguasa publik yang mana dalam hal ini adalah pemerintah daerah.

Sedangkan manajemen pemungutan retribusi terminal menurut Adi Samudra (1997;95) merupakan pungutan langsung yang dikenakan untuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelayanan terminal, dan menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 pasal 1 memberikan pengertian tentang retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan pemerintah daerah untuk orang pribadi atau badan.

 

Kemudian dalam undang-undang ini dijelaskan klasifikasi manajemen pemungutan sebagai berikut:

1.      pemungutan atas sewa/jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang atau badan.

2.      adalah jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan mengatur prinsip-prinsip komersil karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

3.      adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang atau badan yang dimaksud untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, pengunaan sumber daya alam, barang sarana dan prasarana atau fasilitas tertentu guna kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Pada dasarnya retribusi terminal yang dikenakan pada konsumen hendaknya berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan banyaknya uang yang dikeluarkan konsumen untuk membayar retribusi tersebut.

C.    Analisis Potensi dan Laju Pertumbuhan Retribusi Terminal

 Dilihat dari letak Kota Bukittinggi yang terletak dipersimpangan dan juga tempat dilakukannya kegiatan pembangunan sarana Pendidikan, Kesehatan dan perdagangan juga pariwisata Sumatera Barat, maka peluang pertumbuhan dan perkembangan perekonomian serta pembangunan industri, berkembang sangat cepat sekali dibanding dengan daerah Kota/Kabupaten lainnya ditambah lagi dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar swasta yang mempromosikan hasil produknya ikut mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kota Bukittinggi selain itu ditambah lagi dengan kota bukittinggi sebagai kota perdagangan dan kota peringgahan oleh setiap kendaraan yang ingin ke sumatera bagian utara dan bagian selatan terlebih dahulu harus melewati kota Bukittinggi, oleh karena itu dituntut peranan Pemda untuk mengaturnya dengan cara pengenaan retribusi terminal.

Walaupun daerah Kota Bukittinggi merupakan pusat perdagangan di Propinsi Sumatera Barat yang juga menjadi tempat berkembangnya kegiatan pariwisata, namun bila dilihat dari kontribusi retribusi terminal terhadap PAD  selama 5(lima) tahun belakangan ini ternyata belum memuaskan, dimana kontribusinya kurang. Jadi disini dapat dikatakan retribusi terminal masih kurang  potensial sekali sebagai penerimaan untuk membiayai pembangunan hal ini dilatar belakangi oleh system pemungutan yang belum terkelola dengan baik. Kedepan keadaan Kota Bukittinggi yang terkenal dengan julukan Kota Wisata, Kota Perdagangan, Kota Kesehatan yang memungkinkan tuntutan untuk pemasangan penataan terminal  semakin hari semakin meningkat yang berdampak positif bagi pembangunan Kota Bukittinggi selama dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku dan tidak mengganggu keindahan kota.

 

 

 

Potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada disuatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel-variabel ‘yang dapat dikendalikan

Berikut darihasil analisa yang terdapat pada lampiran dapat kita lihat potensi penerimaan retribusi terminal yaitu

PRT = ( Ã¥ Km x Ã¥ RK x 365) / 12                                                   

            PRT =  479.214.583

 

 

Jadi potensi retribusi terminal untuk dijadikan sebagai penetapan target ditahun yang akan datang adalah sebesar Rp. 479.214.583, Mengingat Kota Bukittinggi yang dijadikan sebagai kota perdagangan dan kota pariwisata serta kota pendidikan yang akan banyak menarik minat semua orang yang akan berkunjung ke Bukittinggi yang nantinya akan berimbas kepada frekwensi kendaraan yang masuk kedalam Kota Bukittinggi

Jika dianalisis dari laju pertumbuhannya, maka laju pertumbuhan retribusi terminal dapat kita lihat pada lampiran, tahun 2005 sampai tahun 2007 laju pertumbuhan retribusi terminal menunjukan nilai negarif yaitu – 2,96%, tahun 2005, - 4,33% tahun 2006 dan yang paling parah yakni tahun 2007 – 51,42% hal ini terjadi karena keadaan krisis ekonomi terparah yang melanda Indonesia umumnya dan Kota Bukittinggi khususnya yang artinya terjadi penurunan realisasi penerimaan dari pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk tahun 2008 laju pertumbuhan retribusi terminal sedikit mengalami peningkatan yakni  9, 60%.:

D. Analisis Kontribusi Retribusi Terminal Terhadap  Pendapatan Asli Daerah

Retribusi terminal merupakan pendapatan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan mengingat retribusi  merupakan salah satu kebutuhan masyarakat. Seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, retribusi juga berkembang dari bermacam-macam bentuk. Retribusi terminal merupakan salah satu unsur penerimaan Pendapatan Asli Daerah, besar kecilnya penerimaan retribusi terminal tergantung pada potensi yang ada, kinerja pemerintah daerah, serta kesadaran masyarakat dalam membayarnya. Dengan meningkatnya penerimaan daerah pada sektor Retribusi terminal, maka semakin besar pula kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Untuk melihat kontribusi yang diberikan oleh Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah digambarkan pada tabel berikut:

Tabel IV.1

Kontribusi Retribusi terminal Terhadap Pendapatan Asli Daerah

Tahun 2004-2006

 

Tahun

Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

Realisasi Penerimaan PAD

Konibusi Retribusi Terminal Terhadap PAD

2004

2005

2006

2007

2008

805.158.400

781.317.100

747.471.000

363.088.000

397.955.600

17.301.783.013

18.593.821.880

23.350.123.812

27.826.050.436

34.573.561.291

46,54 %

42,02 %

32,01 %

13,05 %

11,51 %

     Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dan data diolah

 

Jika dilihat dari tabel IV.1 terlihat bahwa kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah sangat kecil sekali dimana selama lima tahun anggaran tersebut tidak ada kontribusi Retribusi terminal mencapai 50 persen. Bila dilihat kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah yang tertinggi selama lima tahun terakhir terjadi pada tahun anggaran 2004, dimana kontribusinya sebesar 46,54 persen. Kontribusi Retribusi terminal yang terendah terjadi pada tahun 2008, dimana kontribusinya hanya sebesar 11,51 persen. Bila dilihat kontribusi Retribusi terminal selama lima tahun anggaran tersebut cenderung mengalami penurunan, artinya peranan  retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli daerah Kota Bukittinggi sangat kecil sekali, sepertinya sektor ini kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Bukittinggi.

Dari uraian diatas terlihat bahwa Kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah  di Kota Bukittinggi selama lima tahun anggaran terakhir relatif sangat kecil sekali. Sepertinya Pemerintah Kota Bukittinggi harus meningkatkan lagi kinerja dan mengembangkan potensi-potensi yang ada. Kecilnya kontribusi retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi disebabkan oleh potensi yang ada belum digali seutuhnya, dimana masih adaya kebocoran-kebocoran dalam pelaksaaan pemungutan dilapangan serta variable lain yang mempengaruhi kenapa retribusi terminal tersebut belum memberikan kontribusi yang semestinya

 

 

Kecilnya kontribusi Retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah sangat memprihatinkan sebab pada era otonomi daerah nanti Pemerintah Daerah dituntut untuk menggali sumber-sumber keuangan yang ada. Jadi kalau selama ini peranan retribusi terminal terhadap Pendapatan Asli Daerah relatif sangat kecil, diharapkan pada masa mendatang Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi mampu meningkatkan Penerimaan Asli Daerah khususnya Retribusi terminal dengan cara mengevaluasi kinerja selama ini, mendata kembali objek retribusi/ kendaraan baru yang menggnakan jasa terminal dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta mengelola manajemen pemungutan serta seefektif dan seefisien mungkin.

E. Analisis Efektifitas dan Efisiensi Sistim Pemungutan Retribusi terminal  Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bukittinggi

            1. Analisis Efektifitas

Efektifitas dan efisiensi sistim pemungutan retribusi terminal suatu daerah sangat bergantung kepada manajeman dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pemungutan tersebut serta diperlukan untuk mengetahui apakah suatu retribusi itu potensial atau tidak di suatu daerah dan bagaimana kinerja dari pemerintah daerah dalam mencapai target yang menjadi potensi dari retribusi terminal tersebut.

Untuk mengetahui bagaimana efektifitas sistim pemungutan dari retribusi terminal di Kota Bukittinggi dilihat dari biaya yang dikeluarkan serta realisasi dari penerimaan dapat dilihat dari  pada tabel IV.2 berikut ini :

 

 

Tabel IV.2
Efektifitas Retribusi terminal Kota Bukittinggi

Tahun 2004 -2006

Tahun

Target Penerimaan Retribusi Terminal

Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

Efektifitas Pemungutan Retribusi Terminal (%)

Kriteria

2004

2005

2006

2007

2008

864.762.000

907.200.000

818.390.000

414.117.500

401.912.500

805.158.400

781.317.100

747.471.000

363.088.000

397.955.600

93,11

86,12

91,33

88,32

99,02

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dan data diolah

 

Dari tabel IV.2 yang telah disajikan di atas terlihat penerimaan retribusi terminal di Kota Bukittinggi sangat efektif dalam periode lima tahun terakhir, karena hampir 90 % dari potensi tercapai, cuma pada tahun 2006 retribusi terminal kelihatan kurang efektif dengan efektifitas sebesar 86,12 % dibanding tahun-tahun lainnya, ini mungkin disebabkan karena disamping Indonesia mengalami krisis ekonomi yang mempengaruhi perekonomian Kota Bukittinggi juga mengalami krisis politik.

2.      Analisis Efisiensi

Adapun tingkat efisiensi sistim pemungutan dari suatu retribusi juga dapat dilihat dari besarnya biaya pungut yang dikeluarkan dibandingkan dengan realisasi penerimaan dari retribusi yang bersangkutan. Untuk mengetahui efisiensi dari retribusi terminal tersebut dapat digambarkan pada tabel IV.3 berikut ini :

 

Tabel IV.3
Efisiensi Retribusi Terminal Kota Bukittinggi
Tahun 2004 – 2008

Tahun

Target Penerimaan Retribusi Terminal

Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal

Efisiensi Pemungutan Retribusi Terminal (%)

Kriteria

2004

2005

2006

2007

2008

864.762.000

907.200.000

818.390.000

414.117.500

401.912.500

805.158.400

781.317.100

747.471.000

363.088.000

397.955.600

5,37

5,80

5,47

5,70

5,05

Sangat Efisien

Sangat Efisien

Sangat Efisien

Sangat Efisien

Sangat Efisien

Sumber : Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dan data diolah

Dari tabel IV.3 terlihat rata-rata system pemungutan retribusi terminal diukur dari biaya pungut yang dikeluarkan selama priode 2004-2008 terhadap realisasi penerimaan retribusi terminal relatif sangat efisien. Jika keadaan ini terus berlanjut dan tetap dipertahankan maka akan berdampak positif terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah kota Bukittinggi melalui kantor LLAJ dalam penetapan target retribusi terminal ditahun-tahun yang akan datang untuk dipungut menjadi sumber penerimaan daerah Kota Bukittinggi.

F. Kendala-Kendala dalam Pemungutan Retribusi terminal

Kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi khususnya Kantor LLAJ Kota Bukittinggi sebagai instansi yang mengelola langsung pemungutan retribusi terminal antara lain:

1.      Perhitungan penerimaan pada masing-masing obyek retribusi terminal belum sepenuhnya optimal, sehingga berakibat rendahnya target dan realisasi penerimaan Retribusi terminal di Kota Bukittinggi.

2.       Masih terdapatnya masyarakat sebagai pengguna jasa terminal yang tidak membayar retribusi sesuai dengan peraturan dan tarif yang ada

3.      Tidak adanya ketegasan atau sanksi hukum yang tepat bagi masyarakat yang tidak membayar retribusi terminal sebagai kewajibannya sebagai pengguna sarana dan prasarana yang telah ada.

4.      Belum adanya pemahaman dari semua unit kerja terkait dengan tugas pokok, fungsi serta kewenangan satuan kerja yang menangani retribusi terminal.

5.      Adanya oknum operator dari masing-masing bagian yang belum mempunyai sikap mental jujur serta penuh tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan retribusi terminal dan kurangnya pengawasan dilapangan baik terhadap wajib pajak maupun terhadap petugas pemungut/pengelola..

6.      Kurangnya kinerja petugas untuk mengevaluasi/meninjau kembali pendataan wajib retribusi terminal, dimana sistem pendataan obyek dan subyek retribusi terminal yang digunakan selama ini masih berdasarkan tahun sebelumnya, pada hal potensi cukup besar untuk digali dan ditingkatkan.

Permasalahan tersebut hampir ada disetiap tahun ditemui, baik dalam operasional dikantor maupun pelaksanaan di lapangan serta dalam pembuatan keputusan, hal ini juga bisa berkaitan dengan pengambilan kebijakan dalam perencanaan anggaran supaya ke depan dapat diperbaiki dan dapat dioptimalkan.

G. Kebijaksanaan dan Upaya untuk Meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi

      Sistem Pemungutan Retribusi terminal

1. Usaha Pokok

Yang dimaksud dengan usaha pokok adalah usaha yang dilakukan dalam rangka pemungutan dan peningkatan Retribusi terminal yang antara lain adalah :

a.       Adanya dasar hukum yang jelas dan tegas

Untuk dapat berjalannya suatu pungutan, hendaklah didukung oleh peraturan yang memuat secara tegas dan rinci tentang objek pemungutan, subjek pungutan, tata cara pelaksanaan, tarif dan sanksinya agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami hambatan. Jika dalam peraturan yang belum diatur secara tegas dan rinci hal tersebut diatas dapat disempurnakan dengan melahirkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) atau Petunjuk Teknis (Juknis) untuk pelaksanaan peraturan tersebut.

b.      Objek terdata dengan baik

Sebelum dilakukan pemungutan terhadap Retribusi terminal  hendaknya potensi objek retribusi telah terdata dengan baik. Hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur apakah objek retribusi tersebut sudah memenuhi aspek ekonomis dan aspek teknis.

 

 

 

c.       Kesungguhan dan tanggung jawab petugas pemungut

Dalam hal ini ketegasan dan perbinaan dari atasan terhadap bawahan sebagai petugas pemungut sangat diperlukan, agar bawahan tidak merasa terbebani melainkan merasa diberi kepercayaan untuk menjalankan tugasnya, sehingga akan menimbulkan rasa tanggung jawab dan kebanggaan dalam melaksanakan tugasnya.

d.      Kontrol yang kontinue dari pejabat yang berwenang

Walaupun tugas sudah dibagikan kepada para bawahan, bukan berarti tanggung jawab telah berpindah kepada bawahan. Oleh sebab itu untuk mengetahui apakah suatu tugas sudah berjalan sebagaimana mestinya, diperlukan kontrol yang kuntinue dari pejabat yang berwenang. Disamping itu bawahan yang diberi tugas akan merasakan bahwa tugas yang dilakukannya diperlukan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas organisasi.

e.       Adanya peningkatan koordinasi

Dalam rangka meningkatkan penerimaan Retribusi terminal, kordinasi dengan berbagai pihak sangat diperlukan, sehingga diharapkan semua pihak dapat mendukung kebijaksanaan tentang upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dalam hal ini misalnya dengan instansi terkait dan aparat yang mungkin dapat mendukung pelaksanaan tugas yang dilaksanakan.

 

 

2. Usaha Pendukung

Untuk kelancaran pemasukan pendapatan daerah diperlukan usaha pendukung yang antara lain sebagai berikut :

a. Teknik-teknik dalam pemungutan

Dalam pelaksanaan pemungutan Retribusi terminal terlebih dahulu harus diketahui subjek atau orang yang akan membayar pungutan/ tersebut. Ada beberapa hal yang menyebabkan orang mau membayar kewajibannya, diantaranya dikarenakan oleh rasa takut, rasa segan atau malu terkena sanksi ataupun hal-hal yang akan merusak citranya sendiri. Sebagai petugas pemungut harus jeli mengkategorikan hal-hal yang akan menyebabkan orang akan membayar kewajibannya tersebut.

b. Sosialisasi atau memasyarakatkan peraturan

Upaya pendukung lainnya yaitu dengan cara memasyarakatkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur tentang Retribusi terminal, guna meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar kewajibannya.

c. Meningkatkan sarana dan prasarana kerja dan kemampuan personil Kantor LLAJ Kota Bukittinggi yang merupakan suatu organisasi yang berwenang melaksanakan dan mengurus bidang pendapatan daerah. Seperti pajak, retribusi dan semua penerimaan lainnya yang menjadi sumber pendapatan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berkewajiban dan berupaya untuk meningkatkan penerimaan pendapatan daerah setiap tahunnya.

Dalam upaya melaksanakan koordinasi, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1.      Melibatkan Kepala Daerah dan unsur Muspida lainnya untuk menegakkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,

2.      Meningkatkan peranan Dinas/instansi/lembaga yang langsung mempunyai sumber pendapatan daerah untuk mengelola sumber-sumber tersebut baik dalam rangka intensifikasi maupun ekstensifikasi dibawah koordinasi Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi,

3.       Mendorong lebih aktif peranan instansi penunjang dan instansi pendukung untuk secara bersama-sama ikut memikirkan dan secara terkoordinasi mengupayakan peningkatan pendapatan daerah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

Berpedoman pada uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya maka pada bab ini penulis mengungkapkan hal-hal pokok yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.      Potensi retribusi terminal Kota Bukittinggi untuk tahun selanjutnya adalah sebesar Rp. 479.214.583 cendrung mengalami peningkatan dari tahun sebelumya hal ini disebabkan kota Bukittinggi untuk tahun-tahun yang akan datang sudah mempunyai empat visi yang relevan dengan potensi yang dimilikinya serta pemanfaatan terminal sebagai sarana transportasi yang menjanjikan dalam pemungutan retribusi  yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kota Bukittinggi.

2.      Kontribusi retribusi terminal terhadap PAD selama priode 2004-2008 relatif kecil, dimana kontribusi retribusi terminal terhadap PAD masih dibawah yang diharapkan dengan  serta cendrung menurun hal ini secara umum disebabkan karena keadaan ekonomi Indonesia umumnya dan ota Bukitingi khususnya mengalami penurunan yang berdampak terhadap kontribusi retribusi terminal Dengan demikian berarti retribusi terminal memberikan sumbangan kepada PAD masih belum sesuai dengan target yang ditetapkan, kontribusi terbesar retribusi terminal terhadap PAD terbesar  pada tahun 2004 yaitu sebesar 46,54 % sedangkan kontribusi terendah yaitu pada tahun 2008 sebesar 11,05 %.

3.      Rendahnya kontribusi retribusi terminal terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah disebabkan karena sedikitnya potensi retribusi terminal pada Kota Bukittinggi, dan masih banyak objek retribusi terminal yang belum terdata serta belum maksimalnya pengelolaan Retribusi terminal yang ada.

4.      Bila dilihat dari efektifitas sistem pemungutan retribusi terminal di Kota Bukittinggi sudah sangat baik, ini terlihat dari pencapaian realisasi mendekati potensi yang sebenarnya. Sedangkan efisiensi sistem pemungutan retribusi terminal berdasarkan biaya operasional sudah sangat memadai sehingga retribusi terminal ini sangat potensial untuk dipungut.

5.      Penyusunan rencana penerimaan Retribusi terminal belum dapat dilaksanakan dengan cara perhitungan potensi karena sistim pendataanya belum sempurna.

6.      Mekanime pelaksanaan Sistim Pemungutan retribusi terminal yang dilakukan oleh Kantor LLAJ Kota Bukittinggi sudah banyak mengacu kepada Pemendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan peraturan-peraturan lainnya.

 

 

 

B. Saran

Berdasarkan hasil dari pengamatan yang dilakukan penulis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut

1.      Seiring dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, maka begitu juga halnya dengan perkembangan dunia usaha maka dengan sendirinya perlu diadakan promosi yang mana dalam hal ini retribusi/iklan, oleh karena itu perlu adanya peremajaan data, dalam hal ini objek retribusi terminal yang belum terdata sudah semestinya didata dan dijadikan potensi untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan sistem komputerisasi.

2.      Dalam penentuan target semestinya berdasarkan potensi yang ada, bukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun lalu.

3.       Untuk lebih meningkatkan lagi penerimaan dari retribusi terminal ini diharapkan lagi kerjasama yang maksimal dengan berbagai Dinas dan Instansi yang terkait.

4.      Meningkatkan kualitas SDM aparat dengan cara mengikuti pelatihan, kursus-kursus serta studi banding dengan daerah di luar Kota Bukittingi guna meningkatkan wawasan serta menambah pengetahuan aparat dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak daerah khususnya retribusi terminal.

5.      Evaluasi terhadap pelaksanaan pcmungutan retribusi terminal dilakukan oleh Kantor LLAJ Kota Bukittinggi dalam bentuk perbandingan antara realisasi penerimaan dengan target penerimaan. Evaluasi yang seharusnya dilaksanakan berkaitan erat dengan rencana peningkatan dan efektititas penerimaan.

6.      Meningkatkan kinerja dan pengawasan terhadap petugas pengelola/pemungut retribusi dilapangan dengan memperbaiki sistem kerja bagi petugas pemungut/pengelola misalnya mengadakan sistem aplusan atau mutasi antar aparat pengelola pada kantor LLAJ untuk mencegah terjadinya kolusi, korupsi atau kebocoran-kebocoran lainnya.